Rabu, 28 Maret 2012

Selasa Prapaskah Minggu V

Daily Lent Reflections 
by Laurence Freeman, OSB

"Dan Ia yang telah mengutus Aku, menyertai Aku! Ia tidak membiarkan Aku sendiri, sebab Aku senantiasa berbuat apa yang berkenan kepada-Nya"

Dia selalu rindu untuk menyenangkan ayahnya dan mendapat persetujuannya. Jauh setelah dia dewasa, setelah dia menikah dan mempunyai anak, ayahnya  menahan materai persetujuan dan kasih terakhir yang dirindukannya itu. Saat ayahnya mencapai ulang tahun yang penting dia membelikan ayahnya sesuatu yang selalu diinginkan ayahnya, sebuah Harley Davidson.


Hadiah itu menyentuh keinginan rahasia ayahnya yang diceritakan padanya pada saat-saat intim yang langka bertahun-tahun sebelumnya. Saat dia memberikan hadiah itu, dia langsung tahu hadiah itu tidak membuat keajaiban seperti yang diharapkannya.

Ayahnya menerima hadiah itu dengan sopan, dengan dingin tetapi dia tetap menjaga jarak, menyembunyikan perasaannya dari anaknya seperti yang selalu dilakukannya. Hati anaknya yang tumbuh dewasa itu remuk redam; tiba-tiba dia kembali menjadi seorang anak kecil yang hancur, berteriak meminta penegasan seorang laki-laki yang tak pernah diterimanya.

Hal ini memang tidak ada hubungannya dengan tema refleksi hari ini. Seperti yang tertulis dalam Injil Yohanes, Yesus sering mengacu pada relasi-Nya dengan Bapa-Nya (Bapa kita). Tetapi tidak seperti relasi dalam anekdot di atas, bukan hubungan psikologis. Gambaran seorang ayah atau ibu begitu kuat bagi kebanyakan orang sehingga orang bisa mempertanyakan kebijaksanaan yang mengacu pada Allah dengan salah satu istilah, begitu sarat dengan muatan psikologis dalam setiap kisah individu sebagaimana adanya.

Untuk satu hal, Yesus dan budayanya tentu saja adalah pra-Freudian. Saat kita beranggapan bahwa paradigma Freudian sudah sampai di bawah permukaan semua interaksi manusia, pra-Freudian sering dianggap naïve atau primitive. Namun yang lebih jauh dari ini adalah tingkat dimana Yesus menggunakan simbol ‘Bapa-Ku’ untuk relasi-Nya – yang merupakan inti acuan universal-Nya dan sumber kuasa-Nya. Sungguh manusiawi, tetapi tidak secara psikologis. Relasi itu ontologis (Sebuah cabang metafisika yang membahas tentang kodrat dan relasi makhluk): kodrat menjadi apa adanya, tidak begini atau begitu, individual atau antar pribadi, tetapi cara segala sesuatu  menjadi sebagaimana adanya. Menjadi ada.

Dengan begitu kita dapat mengatakan ‘nah, apa itu artinya’? Mungkin itulah sebabnya Yesus menggunakan simbol bapa, sebagai sesuatu yang dapat kita pahami, tetapi juga menggambarkan sesuatu yang tidak mungkin untuk kita ucapkan; namun lebih nyata daripada pemikiran apapun juga. Untuk alasan ini, perasaan yang diteguhkan oleh realitas pada tingkat yang terdalam dan paling sederhana mungkin menjadi cara yang terbaik atau satu-satunya jalan bagi anak yang tak dicintai itu untuk dapat menyembuhkan kebutuhannya yang tak terpenuhi di dalam psikisnya.

Di padang gurun, dalam meditasi, kita diturunkan melewati daerah psikologis (dengan beberapa benturan di tengah jalan), langsung menuju dasar keberadaan.
Mantra kita adalah fiat kita. Biarlah terjadi.
 (Diterjemahkan : Fransisca Hadiprodjo - WCCM Yk)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar