Senin, 05 Maret 2012

Minggu Kedua Prapaskah

 Laurence Freeman OSB

Allah mencoba Abraham, Ia berfirman kepadanya: “Abraham,” lalu sahutnya: “Ya, Tuhan.” Firman-Nya “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.” (Kejadian 22:1)
Kisah di atas bukanlah kisah yang menyenangkan rasanya. Kita lebih suka membuang tumpukan sampah limbah antropologi. Tetapi tanah Moria adalah sebuah realitas di suatu tempat yang lebih dalam, realitas batin keberadaan kita. Di situlah, seperti semua tradisi mistik mengingatkan kita, kita harus melepaskan (‘mengorbankan’) segala yang membuat kita lekat. Manusia seperti apa yang tidak lekat pada apa yang dikasihinya?

Bagaimana kita tidak bisa menjadi manusia seperti itu? Kita tahu bahwa tanah Moria itu ada tetapi kita tidak tahu di pegunungan yang mana – dalam situasi apa atau kapan atau bagaimana – kita dipaksa untuk melepaskan segalanya. Tetapi tidak ada cinta tanpa pengorbanan karena cinta hanya dapat tumbuh melalui pelepasan, pelepasan yang berlangsung terus menerus. Sekalipun tidak ada cinta dalam hidup kita, kita tetap harus melepaskan.

Meditasi membuat kisah yang tidak menyenangkan ini menjadi lebih mudah untuk dipahami. John Main berkata bahwa ‘saat kita memasuki keheningan di dalam diri kita… kita masuk dalam sebuah kekosongan dimana kita tidak dijadikan. Kita tidak dapat menjadi pribadi sebelumnya, atau pribadi seperti yang kita sangka. Sebenarnya kita tidak sedang dimusnahkan tetapi dibangkitkan pada sumber baru yang kekal dari keberadaan kita.’ (Word Into Silence)

Meskipun demikian kita mungkin tidak tertarik untuk menghadapi kedalaman realitas ini. Mungkin, awalnya, kita hanya bisa berkunjung sebentar dan segera balik ke permukaan untuk menghirup udara keakraban dan kenyamanan. Padang gurun adalah masalah belajar meningkatkan kemampuan kita dalam kenyataan, mampu bertahan dalam tuntutan-tuntutan yang diciptakannya.

Inti dari semuanya adalah bahwa kita dapat memahami bacaan Injil hari ini, dimana gereja dengan cerdik menyandingkannya dengan kisah Abraham dan Ishak. Hari ini kita membaca transfigurasi Yesus di ‘gunung suci’ di hadapan orang-orang yang Dia kasihi dan berbagi diri-Nya.

Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes dan bersama-sama dengan mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ mereka sendirian saja. Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaian-Nya sangat putih berkilat-kilat. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat mengelantang pakaian seperti itu.

Perubahan rupa berasal dari kedalaman batin tempat Dia tinggal. Kedalaman itu menyentuh dan bahkan mengubah pakaian-Nya: mulai dari dalam dimana tidak ada detil yang tidak penting, hanya kekhususan, ke permukaan di mana urusan hidup sehari-hari dilakukan.
(diterjemahkan : Fransisca Hadiprodjo - WCCM Yk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar