Kamis, 08 Maret 2012

Rabu Prapaskah Minggu II

 Laurence Freeman OSB
 "Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan.Dan ada seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya.Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham.Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur." (Lukas 16:19-23)

Tak heran Yesus suka mengajar dengan perumpamaan karena perumpamaan-perumpamaan tersebut seperti sebuah kunci rahasia yang mengijinkan anda masuk ke ruangan mana saja. Kita membacanya dan berusaha memahaminya sampai pada tingkat kita mengijinkan perumpamaan itu membaca diri kita dan memahami pengalaman kita sendiri.
Tentu saja hal ini berbeda-beda antara satu pribadi dengan pribadi yang lain. Tidak banyak dari kita yang suka dibaca, sekalipun oleh perumpamaan.


Yang satu ini nyata – perhatikan perbedaan besar kondisi materinya. Melihat berkembangnya perbedaan antara bonus seorang banker dengan mereka yang tinggal di perumahan sejahtera sekarang ini, kita dapat menyimpulkan bahwa nilai-nilai injil selama 2000 tahun ini hanya sedikit merubah struktur dasar ketidak samaan  yang menjadi wajah masyarakat kita. Bagi ekonom, hal ini hanya masalah grafik. Bagi yang bekerja atau mencari pekerjaan, hal ini merupakan masalah sprei halus dan makan atau toko besar (hidup enak) dan elit social. Kematian, bukan politik, adalah satu-satunya penyeimbang.

Ada cara lain untuk membaca dan dibaca oleh perumpamaan ini – pada tingkat kesejahteraan atau kemiskinan rohani kita. Untuk menjadi kaya secara rohani kita harus berada di pusat kebutuhan manusia kita dan pelepasan dari yang kita miliki. Menjadi miskin secara rohani berarti meninggikan diri kita dengan apa yang kita miliki dan melindunginya dari  rasa takut akan kematian dibalik keamanan semu.
Sulit untuk menemukan satu cara atau standar untuk memahami seluruh spektrum kehidupan. Tak ada satu ideology pun yang dapat melakukannya. Salib bisa; karena salib menggambarkan perpotongan dimensi horizontal, yaitu material, dan vertikal, yaitu rohani dari seluruh pengalaman.

Intinya, rohani dan materi bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Setiap pengalaman yang kita alami meliputi keduanya. Dan Salib – simbol kasih yang luar biasa itu menerangi, dan oleh karena itu akan merubah, penderitaan – menunjukkan bahwa yang dilihat oleh pikiran sebagai garis sejajar yang tidak akan bisa bertemu, sebenarnya bertemu dan berpotongan.

Hati adalah titik pertemuan ini. Jika kita tidak memahami arti ‘hati’ – seperti orang kaya yang malang yang tidak memahaminya sampai akhirnya sudah terlambat – maka pengalaman kita, meskipun berbeda-beda, berhasil atau menarik, tidak layak untuk disebut manusia. Hanya pengetahuan yang muncul dalam hati dari kediaman keberadaan yang tak terbatas membuat kita menjadi benar-benar manusia, benar-benar hidup.

(Diterjemahkan : Fransisca Hadiprodjo - WCCM Yk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar