Kamis, 29 Maret 2012

Rabu Prapaskah Minggu V

Daily Lent Reflections 
by Fr. Lurence Freeman, OSB
Saat musim dingin tiba di Kutub Utara, beruang-beruang kutub yang kesepian menyendok es sendiri untuk membuat tempat tidur dan meringkuk untuk hibernasi panjang mereka. Kemudian turun salju dan menyelimuti mereka, menjaga mereka tetap hidup di gurun es, selimut dingin menjaga mereka dari dingin yang mematikan. Beruang-beruang betina melahirkan selama tidur nyenyak mereka yang panjang. Teriakan bayi-bayi mereka mengaktifkan suplai susu ibunya, tujuh kali lebih kaya nutrisi daripada susu manusia; dan insting keibuannya terbukti lebih kuat dari rasa kantuk yang paling kuat. Di musim semi, beruang betina pergi, dengan bayi-bayi mereka tersandung di kaki, untuk mencari makanan keras tetapi tetap waspada terhadap beruang-beruang jantan kelaparan yang mengincar bayi-bayi mereka untuk dijadikan snack yang lezat.

Mau tidak mau kita melihat diri kita tercermin dalam dunia binatang. Semua kesalahan manusia kita ada di sana, pembagian wilayah, kecemburuan seksual dan kepemilikan, insting ego untuk mempertahankan diri. Yang tidak ada pada mereka adalah rasa berdosa. Memakan anak beruang muda, bertarung sampai mati demi supremasi seksual tidak menodai rasa bersalah mereka. Jika mereka melakukan hal-hal yang kita temui tercermin dalam kualitas kita yang lebih tinggi, kesetiaan atau pengorbanan diri, hal ini juga tetap berada dalam lingkup kodrat dan tidak dapat dianggap sebagai kebajikan. Dalam kitab Kejadian, Allah menciptakan binatang untuk menemani manusia tetapi ternyata mereka tidak cukup meringankan kebutuhan manusia akan kesatuan.

Kita sering mengutuk kebiadaban manusia yang seperti hewan yang tentu saja merupakan sebuah penghinaan bagi kerajaan binatang. Binatang berburu dan membunuh tetapi mereka melakukannya untuk bertahan hidup, tidak seperti kita yang melakukannya untuk kenikmatan atau untuk memindahkan kemarahan kita pada makhluk yang lebih lemah.

Lalu apa bedanya? Ada beberapa factor yang kita sebut kesadaran atau kualitas kesadaran tertentu yang secara khusus dimiliki oleh manusia. Bukan kesadaran yang membuat kita secara kodrat lebih tinggi melainkan kesadaran yang membuat kita jauh lebih beruntung. Kita tidak (hanya) lebih pandai dan lebih baik secara biologis. Tetapi kita tergelitik ke kondisi yang lebih waspada oleh kesadaran bahwa kita dikenal. Kita hidup di dalam pengetahuan yang bijak yang lebih dari sekedar insting dan mempertahankan diri. Mari kita menyebutnya sebagai rahmat – sebuah karunia yang mengalir dari sumber keberadaan sejati yang tak tertandingi lansung menuju penampungan jiwa kita.

Lompatan ke depan selanjutnya adalah dalam proses menyadari hal tersebut, kita didorong untuk mengubah perhatian kita kepada sumber yang tak terlihat meskipun hal itu berarti, memang seperti itu, melepaskan perhatian dari diri kita sendiri. Dengan begitu kita mencari seorang guru yang dapat diraba dan dilihat yang di dalam dirinya hadir penuh dan tersedia sumber yang agung tersebut. Melalui hubungan tersebut kita dapat minum dari sumber keberadaan sesehat bayi-bayi beruang meminum susu ibunya.

Masuklah Yesus.
"Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, maka kamu benar-benar murid-Ku, dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu."
(Diterjemahkan: Fransisca Hadiprodjo - WCCM Yk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar