Selasa, 13 Maret 2012

Senin Prapaskah Minggu III

Laurence Freeman OSB
Pesan Kristiani, yang lahir dari suatu pandangan yang lebih dalam daripada kata-kata dan ditularka melalui keheningan penuh roh, sungguh memalukan. “Allah menjadi manusia supaya manusia dapat menjadi Allah.”

Pernyataan dari teolog awal ini terdengar lebih berani daripada yang mau ditanggung oleh banyak teolog sekarang ini dan pernyataan itu dengan keras menentang usaha dualisme gnostik untuk melunturkannya. Artinya tentu saja hanya dapat dipahami lewat pengalaman hidup kita ketika kita mencoba, seringkali lemah, untuk hidup seolah-olah itulah  kebenaran inti, hal yang nyata dalam segala keadaan.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Inkarnasi adalah Allah yang dikonsentrasikan menjadi manusia yang tunggal sehingga Allah dapat benar-benar ‘menjadi sepenuhnya manusia’. Bagaimana lagi seseorang dapat menjadi manusia tanpa menjadi manusia dalam waktu dan tempat tertentu? Para teolog klasik berpikir hal ini perlu tetapi penderitaan yang dialami oleh individu ini tak terelakkan. Allah perlu menjadi manusia. Yesus, pemenuhan kebutuhan ilahi ini, tidak ingin menderita lebih dari manusia ingin menderita. (Bapa jika ini kehendak-Mu, biarlah cawan ini berlalu dari-Ku).

Doktrin ini mungkin terdengar abstrak dan picik bagi kebanyakan orang sekarang ini. Sebenarnya, doktrin ini mengubah cara kita berinkarnasi dalam cerita hidup kita yang unik sepanjang seluruh fase perkembangan kita. Doktrin tersebut membantu  kita untuk tidak lekat pada mentalitas kekanak-kanakan atau tingkah laku remaja seperti yang kita lihat sering terjadi dalam banyak konflik-konflik kekerasan dan juga dalam banyak masalah-masalah pribadi kita.

Hal ini juga mengajarkan kita cara otentik untuk menangani penderitaan. Seperti yang dikatakan oleh Leonard Cohen, kita harus belajar untuk meratap dalam batas-batas tegas martabat dan keindahan. Kecenderungan ego untuk mengasihani diri beresiko membuat kita tersingkir dan kepahitan. Dengan mengetahui tujuan kita, dan kemana penderitaan itu menuntun kita, memberi kita belas kasih dan martabat baik untuk pendekatan kita akan penderitaan maupun kekecewaan dan kehilangan.

Inilah sebabnya Prapaskah merupakan masa/musim Kristiani. Inilah sebabnya meditasi adalah doa Kristiani. Bukan untuk menjadi hukuman bagi diri kita karena kesalahan-kesalahan kita atau sekedar untuk mencari pencerahan sebagai pelarian diri dari penderitaan. Tetapi untuk menjadi sepenuhnya manusia, sadar seutuhnya, supaya kita dapat benar-benar ‘menjadi Allah’ karena kita telah diprogram untuk melakukannya.
(Diterjemahkan : Fransisca Hadiprodjo - WCCM Yk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar