Sabtu, 24 Maret 2012

Jumat Prapaskah Minggu IV

Daily Lent Reflections - Fr. Laurence Freeman, OSB

Tubuh tidak berbohon dan tidak pernah lupa. Pikiran – sulit untuk mengatakan apa yang sebenarnya dipikirkan karena pikiran bekerja pada banyak tingkat yang jarang sekali berkomunikasi satu dengan yang lain. Dan pikiran, seperti yang kita saksikan menjauh dari kita oleh karena dementia/kepikunan, dengan mudah dan cepat dapat menjadi tak berpikir.

Jadi, mengapa kita beranggapan bahwa pikiran dapat membawa kita pada kebenaran lebih jauh daripada tubuh? Hanya ilusi yang menganggap bahwa kebenaran adalah abstrak, tak bertubuh. Bethlehem dan Padang Gurun godaan Yesus, Salib dan Kebangkitan yang membebaskan kesalahan kita akan gagasan tersebut.

Saat ini kita masih berada di padang gurun, menahan godaan pikiran menuju abstraksi dan ilusi (kekuasaan, ketenaran, kendali, dan kepemilikan yang membuat ego jatuh cinta).  Kita belajar untuk melatih disiplin fisik sehingga kita dapat terbebas dari kelekatan akan keinginan sekunder yang menggantikan diri bagi keinginan kita yang terdalam.

Dengan demikian kita belajar untuk menemukan dan merangkul keinginan sejati itu, yang terpenuhi hanya dengan merangkulnya, tidak pernah dengan menggenggam gambaran akan pemenuhannya. Hanya dengan menghadapinya dalam kekosongan ketidak sempurnaan dan kerinduan kita, kita jatuh dalam kemiskinan roh yang membawa kekayaan tertinggi. Hanya dengan melepaskan keinginan kita dapat memenuhinya.

Namun kebiasaan lama memang sulit dihilangkan, seperti Prapaskah sampai tahap ini telah berkali-kali mengajarkan kita. Seperti bangsa Israel yang putus asa ditengah-tengah perjalanan mereka yang melelahkan di padang gurun dan terbayang hari-hari perbudakan mereka yang terjamin: Kami ingat ikan yang kami makan tanpa bayar di Mesir, mentimun, melon, daun bawang, bawang Bombay dan bawang putih. Masalahnya adalah mereka – dan kita juga – menghuni kenangan bukan saat kini ketika kita menjadi tanpa tubuh dan hanya berpikir tentang dunia materi.

Jika kita menjadi semakin penuh dalam saat kini, imajinasi kita menjadi semakin berkurang, dan kita melihat lebih banyak. Inilah sebabnya dalam meditasi seperti halnya dalam Ekaristi, kita makan dan minum realitas. Dan inilah sebabnya postur tubuh maupun perhatian pikiran keduanya menjadi penting saat kita belajar bermeditasi.

(Diterjemahkan : Fransisca Hadiprodjo - WCCM Yk)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar