Selasa, 05 Maret 2013

Aku Bukan Apa-apa

Lent Daily Reflections by Laurence Freeman OSB.
Selasa Minggu III Prapaskah



"Aku tidak punya apa-apa, aku tidak ingin apa-apa, aku tidak tahu apa-apa." Inilah kalimat yang selalu diucapkan oleh para mistikus abad pertengahan dan terkesan negatif bagi telinga kita dan kata ganti orangpun disorot penuh kecurigaan. Terlalu banyak aku untuk menonjolkan pernyataan tidak pada dirinya



Jadi: mereka yang tahu tidak berbicara dan mereka yang berbicara tidak tahu. Inilah kata tantangan bijak yang kuno. Tapi tidak mudah dipraktekkan. Dalam Maximus the Confessor, kita diberitahu bahwa ada tempat pertengahan jalan. Orang yang tahu memiliki sedikit kesempatan yang terbuka untuk berbicara ketika pengalaman masih baru. Tetapi ketika harumnya roti yang baru dipanggang itu sudah hilang, lebih baik tetap diam tentang hal ini. Hal ini relevan tidak hanya bagi penulis rohani saja tetapi juga untuk kita semua di dalam budaya untuk berkata sebelum berpikir dan jarang mendengarkan dalam-dalam yang dikatakan orang lain.

Sulit sekali menemukan kata-kata untuk menggambarkan pengalaman terdalam perjalanan kita melalui Padang Gurun ke Tanah Perjanjian, dari satu kehidupan ke kehidupan lain. Kita harus dapat menahan diri dan tidak marah pada setiap kelemahan atau yang nyata bertentangan. Bila cara pandangan kita miring, sungguh sulit untuk mempertahankan kebenaran; namun kita harus tetap melangkah, memandang dan bergerak maju. Jika tidak, seperti setiap panitia yang dibentuk untuk tujuan apa saja, kita dengan mudah terjebak dalam pertentangan untuk mempertahankan ego. Berdebat dari sudut pandang kita sendiri melepaskan kelekatan sudut pandang kebenaran diri kita sendiri. Kebiasaan membicarakan diri sendiri menyebabkan kehilangan pandangan tentang gambaran besar yang selama masa kosong - atau masa kurang pendapatan - Prapaskah ini diusahakan untuk dipusatkan kembali.

Yang tersirat dalam tiga refren dari abad pertengahan adalah suatu kesimpulan tinggal diam: Aku bukan apa-apa. Si Aku ditelan dalam ketiadaan dan tidak lagi dapat berbicara atau berpikir tentang dirinya atau hal-hal yang disenanginya. Di luar pengalaman pendoa memang kedengarannya sangat negatif. Dalam doa murni meditasi - di pegunungan tinggi yang udaranya tipis, tidak tercemar tempat pertemuan batu dengan udara - tepian ketiadaan ini dirasakan sebagai awal janji sepenuhnya keberadaan kita. Ketiadaan dapat dipahami, lebih dalam dari kata-kata, sebagai sesuatu yang memberi kepenuhan bagi hari-hari terhampa kita.

sumber : www.meditasikristiani.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar