Rabu, 27 Maret 2013

Rabu Pekan Suci 2013

Holly Week Reflections
Oleh : Laurence Freeman, OSB

‘Yudas, yang akan mengkhianatinya; menjawab katanya, ‘Bukan aku, ya Rabi?’ ‘Engkau telah mengatakannya’ jawab Yesus.’

Ada beberapa unsur yang membuka pikiran di seputar tema pengkhianatan dalam kisah Sengsara. Yesus adalah yang dikhianati, yang paling jelas oleh salah seorang murid-Nya. Tetapi Yesus juga adalah orang yang telah mengetahui dan mengungkapkannya dengan jelas. Yudas berpura-pura tidak bersalah dan berkata ‘Bukan aku’ dan Yesus berkata – bukan untuk pertama kalinya – ‘engkau yang mengatakannya, bukan Aku’. Begitu juga dengan Pilatus dan penguasa-penguasa relijius lainnya yang banyak bertanya kepada-Nya, Dia menghindar untuk terjebak dalam tipu muslihat mereka dan membiarkan kata-kata mereka sendiri yang menjadi jawabannya.

Dia tampil dengan sangat percaya diri ditengah-tengah pengkhianatan dan tuduhan-tuduhan palsu yang menghancurkan-Nya. Motivasi Yudas tetap tidak diketahui – seperti halnya motivasi Iago dalam cerita Othello yang sepertinya memang menikmati perbuatan jahat. Tetapi mengkhianati Yesus demi tiga puluh keping perak simbolis sepertinya begitu tak terpisahkan dengan makna takdir Yesus yang menerimanya tanpa kepahitan ataupun menyalahkan orang lain. Dia hanya terbuka dan menerimanya. Kita dapat membayangkan rasa sakit dan sedih saat dikhianati oleh orang yang dekat dengan anda tetapi Yesus sendiri tidak mengkhianati kedekatan di antara mereka. Tidak kepahitan menyalahkan orang atau bahkan balas dendam dengan balik menolak si pengkhianat.

John Main berkata bahwa salah satu prioritas pendidikan adalah untuk mempersiapkan kita untuk menghadapi pengalaman pengkhianatan. Harapan-harapan dan rencana-rencana kita sering mengkhianati kita. Cuaca mengecewakan kita pada hari piknik yang telah kita rencanakan. Pesawat-pesawat ditunda saat jadwal kita begitu ketat. Kita menaruh harapan yang tinggi kepada seseorang dan orang tersebut sering gagal memenuhinya. Pada tahun-tahun pembentukan kita yang paling rapuh pada masa kanak-kanak, kita perlu dilindungi dari dampak-dampak awal pengkhianatan dan kekecewaan hidup yang tak terelakkan. Mengecewakan harapan ataupun mengingkari janji pada seorang anak akan berakibat buruk. Kita tahu bahwa kita telah menghadapkan mereka pada kenyataan hidup yang keras. Kita berharap tidak secepat itu, tidak akan begitu merusak, terlalu dini, cara mereka menghadapi dunia. Hidup tergantung pada kepercayaan.

Yudas dan Yesus sepertinya memiliki kedekatan yang misterius dalam kisah ini. Setidaknya mereka berdua saling terbuka. Murid lain mengkhianati secara pasif atau hanya melarikan diri. Ketika kita dikhianati seperti ini kita biasanya tanpa sadar bereaksi – sebagai korban, sebagai pihak yang dirugikan, sebagai orang yang kemudian menikmati keunggulan moral. 

Namun dengan spontan Yesus menanggapi dari tempat yang berbeda, lebih dalam dari wilayah reaksi psikologis yang dapat ditebak. Dia benar, jujur tetapi tidak menyalahkan. Kasihnya memiliki kesabaran, pemisahan yang tidak rumit. Dia mengampuni tanpa menuntut air mata ataupun rekonsiliasi yang dramatis. Seolah-olah Dia sudah mengampuni bahkan sebelum kejahatan itu dilakukan.


Siapa pribadi yang diungkapkan dalam reaksi-Nya terhadap bentuk penderitaan manusia yang sangat mendalam, begitu jauh dari kita namun juga sangat dekat?



Sumber           : www.wccm.org
Penterjemah : Sisca Hadiprojo - wccm jogja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar