Selasa, 19 Maret 2013

Menerima Diri Kita Sebagai Anugerah


Lent Daily Reflections - Laurence Freeman, OSB
SELASA MINGGU V PRAPASKAH.

Ken Wilber suatu saat tergerak untuk menuliskan kisah tentang cara ia merawat istri yang baru dinikahinya yang menderita sakit sampai saat terakhirnya. Bagi mereka yang mengenal tulisan-tulisannya yang lain akan menghargainya, dia terlahir cerdas dengan selera yang tinggi untuk mendapatkan dan menyatukan pengetahuan dan pemahamannya. Buku-bukunya semakin panjang jadinya. Namun setelah jelas bahwa kanker istrinya sudah tidak dapat diobati lagi, dia meninggalkan semua kegiatan dan minatnya, konsentrasi sepenuhnya untuk merawat dan berada bersama istrinya. Ketika kegiatan tersebut semakin membuatnya stres, dia mulai tegang tidak tertahankan. Pertanda buruk mulai muncul terbayang setelah seorang temannya mengatakan kepadanya untuk menggunakan waktu paling tidak satu atau dua jam sehari melakukan karya intelektualnya, ini dengan bijak diturutnya.


Kita adalah kita seperti apa adanya, dan tidak dapat mengubah diri kita seturut kemauan atau pikiran kita saja. Keberadaan kita adalah yang paling dalam maknanya untuk kita laksanakan. Merupakan pemenuhan dan kebahagiaan selengkapnya yang memungkinkan kita untuk memenuhi tanggung jawab kita. Langkah pertama untuk menjadi diri kita sendiri adalah menerima diri kita apa adanya bahkan - khususnya - bila kita berpikir bahwa kita harus pernah menuliskan hal-hal menarik lainnya yang dituliskan dalam perangkat lunak kita dari saat kita diciptakan.

'Dalam meditasi kita menerima saja diri kita sebagai anugerah'. Definisi singkat John Main ini semakin benar gemanya disetiap tahap perjalanan meditasi. Maknanya dapat diselidiki lebih dalam lagi. Sampai sekarang usaha untuk menerima diri sendiri ini lebih banyak tuntutannya dan sangat sulit bukannya sekedar menghargai cara berpikir mandiri. Oleh karena itu, penerimaan dan keberadaan diri kita seperti apa adanya harus secara sadar diawali sedini mungkin, sebelum kerak membayangkan seperti apa diri kita menjadi terlalu tebal. Banyak membayangkan diri akan menjadikan sumber penderitaan dan keruwetan karena mereka membentuk kita pola-pola kegagalan dan seringkali menuntun pada penolakan diri, yang sangat bertentangan dengan biasanya.

Mengupas lapisan-lapisan pengenalan diri ini serupa dengan membuang baju yang tidak perlu. Kita butuh baju, untuk menghangatkan atau melindungi atau untuk menghormati sesama kita di kereta bawah tanah. Tetapi dalam perjalanan rohani, kenakanlah itu sesedikit mungkin.

Yesus telah disalibkan telanjang. Dalam Kebangkitan, baju tidak perlu lagi dipermasalahkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar