Jumat, 29 Maret 2013

Jumat Agung 2013

Holly Week Reflection, Good Friday 2013
Oleh : Laurence Freeman, OSB

Di bawah semua sistem hukum sepanjang sejarah, kematian menjadi kejahatan dan hukuman yang paling besar. Tidak bisa diubah lagi, absolut, dan itulah salah satu alasan yang menjadikannya sangat mengerikan. Alasan lain, kematian adalah kehilangan yang mengikat semua kehilangan. Dalam semua yang pernah kita miliki yang diambil dari kita secara paksa atau kecelakaan, rasa takut akan kematian muncul. Ketika kematian itu akhirnya datang sepertinya untuk membuktikan bahwa rasa takut itu dibenarkan: akhirnya semuanya pergi; jadi semua itu pada akhirnya tiada artinya.

Yesus akan mati juga pada suatu saat. Kesimpulan dari lahir adalah mati. Bukan hanya bahwa Dia mati, tetapi cara dan alasan Dia mati itulah yang menjadikan Jumat ini Agung. Bagaimana kematian-Nya berbeda dari dua penjahat yang disalibkan di sebelah-Nya atau orang-orang yang mati pada hari yang sama oleh sebab-sebab alami?

Pertama, ada terang yang luar biasa jelas yang  membuat kematian-Nya bersinar ke dalam pikiran dan hati-Nya. Kita tidak melihat seluruhnya karena tidak seorangpun yang dapat mengetahui semua yang melintas bahkan di dalam pikirannya sendiri, apalagi pikiran orang lain. Tetapi kita melihat cukup untuk mengetahui bahwa Dia menderita kehilangan hubungan-Nya dengan keindahan dunia. Dia mengalami keterpisahaan persahabatan manusia dengan sahabat-sahabat-Nya yang telah berjalan bersama-Nya di bumi yang indah ini sebagai rumah bersama mereka.

Dia mengetahui kematian seperti layaknya setiap manusia. Kematian harus diterima dan Dia menyerahkan diri-Nya. ‘Ke dalam tangan-Mu Ku serahkan nyawa-Ku.’ Kita tidak diberitahu bahwa ada sebuah suara yang berbisik, ‘jangan takut, ini cuma pertunjukan, kamu akan baik-baik saja’. Memang benar, tertutupnya semua yang Dia tahu dan apa adanya Dia. Menyerahkan segalanya tidak berarti yakin bahwa semua yang diberikan tidak akan terlebur sia-sia melainkan diubah dan dikembalikan.

Namun pada puncak kematian yang amat sangat mengerikan dan kesepian ini kita melihat – karena Dia mengalaminya – sesuatu yang tidak menghalangi kematian-Nya melainkan menyinarinya. Saat cahaya kehidupan redup dan mati, sebuah cahaya lain dari sumber yang lain bersinar lebih kuat. Kasih yang telah Dia kenal di dalam pengenalan diri-Nya yang paling dalam sepanjang hidup-Nya terbukti nyata, lebih nyata dari kematian. Kita mengetahuinya karena pada saat kematian-Nya, Dia memberikan diri-Nya untuk kasih pada mereka yang telah mengambil nyawa-Nya. Dia memberikan dan mengampuni dan pengampunan itu menempatkan kematian kuno tersebut dalam terang yang baru. Apa terang itu, kita lihat saja nanti.

sumber : www.wccm.org
diterjemahkan : Sisca Hadiprojo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar