Senin, 11 Maret 2013

Kisah Dua Orang Bersaudara


Lent  Daily Reflections - Laurence Freeman
Hari Minggu IV Prapaskah 2013


Takut dan dendam adalah dua kekuatan yang paling merusak dalam hati manusia. Ketika kita dalam cengkeramannya, kita diyakinkan bahwa perasaan-perasaan itu benar. Masing-masing melampiaskan kejahatannya ke segala segi kehidupan kita karena mereka bertumbuh, atau jadi semakin buruk, dengan diyakinkan bahwa kita dikasihi bukan untuk diri kita sendiri. Kita boleh mengenal cinta, bahkan mencintai, tetapi sinarnya perlu waktu agar dapat menembus kedalaman yang paling gelap dari pikiran kita. Keselamatan, penebusan, pencerahan, pembebasan - terdapat di dalam cahaya kasih yang menghalau semua kegelapan yang masih tersisa.


Kesadaran lebih diakibatkan oleh kasih, kita dapat mengatakan bahwa kesadaran adalah kasih. Bila kita tidak mengalami kasih, kita belum seimbang, belum sadar.

Injil hari ini tentang anak yang boros seharusnya dinamakan kisah dua orang bersaudara. Kita memusatkan perhatian pada sibungsu yang menabur gandum liarnya. Dia tampaknya seperti kita atau seperti yang kita inginkan, muda, tidak senonoh, dan suka bersenang-senang. Kemudian dia kehabisan uangnya dan merangkak pulang dengan ketakutan sekali. Dia takut sekali akan reaksi ayahnya. Kakaknya rupanya kurang menarik, kurang terkenal; seorang taat yang tinggal di rumah dan melakukan segala keinginan ayahnya. Tetapi sekarang ayahnya mengharapkan dia untuk merayakan kepulangan kembali adiknya yang suka melawan dan ini sangat berlebihan. Dia marah sekali. Dua bersaudara itu melambangkan dua sisi ego, rasa takut dan rasa marah, kesadaran tingkat rendah, tidak dapat memahami kasih.

Ayahnya adalah segalanya, kita tidak mengharapkan dia menjadi seorang bapa yang kejam. Allah tidak pernah seperti yang kita bayangkan. Dia tidak mempedulikan permohonan maaf anak muda itu. Dia tergerak oleh belas kasihan saat dia melihat anaknya, memeluknya dengan hangat dan menciumnya dengan lembut. Untuk kepedihan hati anaknya yang tertua dia tidak menunjukkan kemarahan melainkan kesabaran dan kebaikan, mengingatkan anaknya bahwa segala yang dia miliki adalah milik anaknya juga. Tampaknya tak seorangpun anaknya mengerti maksudnya. Mereka dikasihi seperti diri mereka apa adanya.

Sejauh ini kata-kata hanya dapat membujuk. Tindakan lebih kuat pengaruhnya. Meditasi adalah tindakan murni. Sesuatu terjadi ketika kita menjadi hening dan diam, melepaskan semua pikiran, rasa takut dan dendam yang dipikulnya. Dalam hening dan diam, ketika pikiran menemukan ketenangan hatinya yang alami, kita tidak lagi dapat menjadikan penglihatan yang keliru dan merusak ini menjadi kenyataan. Ada suatu saat yang singkat, hanya sekejap mata, ketika kita kehilangan segalanya termasuk diri kita sendiri. Kemudian kasih itu muncul, suatu cahaya yang memperjelas semua kenyataan ibarat matahari membawakan warna-warnanya, tak pernah terlupakan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar