Minggu, 24 Maret 2013

Minggu Palma 2013

Holly Week Reflections
oleh : Laurence Freeman, OSB

Tanpa kasih tidak ada belas kasih. Eros juga harus ada dalam adonan jika harus ada agape. Jika tidak ada rasa ketertarikan tidak ada yang dapat mendorong kita memasuki transendensi.

Tetapi kasih dapat terlepas dari formula ini dan berdiri sendiri – hanya melayani nafsu dan kepentingan-kepentingannya sendiri. Kasih berubah menjadi kekuatan jahat dalam jiwa kita yang mengakibatkan kehancuran dunia di sekitar kita. Kita terpental kesana kemari dari hasrat menjadi kejenuhan sebelum kita mulai mencari obyek lain untuk diinginkan. Kecanduan segera mengajarkan kita penderitaan yang terkandung di dalamnya. Bagaimana hal ini terjadi, ceritanya sungguh rumit. Namun jalan keluarnya sederhana: mengijinkan diri anda untuk dikasihi. 


Sepertinya anda tidak memerlukan kasih untuk membiarkan diri anda dikasihi. Kasih ada dalam hal mengasihi dan pencarian obyek untuk diinginkan. Tetapi Kasih Yesus yang mengawali Minggu Suci hari ini membawa kita lebih fokus pada titik kebenaran dimana dualitas antara mengasihi dan dikasihi, sumber dualitas dari semua egoisme, menjadi terlebur.

Dengan terleburnya keterpusatan diri datanglah pemutusan karma. Kitab suci melihat hal ini secara kolektif maupun secara pribadi. Kisah yang mulai kita ceritakan kembali hari ini begitu tak ada habisnya dan universal karena hal ini.

Semua imam berdiri menjalankan tugasnya setiap hari, terus menerus menghunjukkan korban yang sama yang tidak mampu membuang dosa. Di sisi lain, Dia menghunjukkan satu korban tunggal untuk dosa, dan kemudian mengambil tempat untuk selamanya, di sisi kanan Allah. (Ibrani 10: 15)

Itulah cara relijius dan alkitabiah untuk mengungkapkannya. Namun intinya universal: dalam Yesus lingkaran pengulangan ini terputus dan karma di transendensikan. Kita tidak perlu lagi mencari obat ‘kelegaan sementara’. Obat ini benar-benar dapat menyembuhkan.

Kita bisa meragukan hal ini saat pertama kali mendengarnya. Namun Injil hanya menceritakan kisah manusia dan terserah pada kita untuk memberinya makna. Hal ini mengubah keraguan menjadi iman. Hal ini terjadi saat kisah tersebut menjadi kita.

Kemudian Dia menjauh dari mereka, kira-kira selemparan batu, dan berlutut berdoa. ‘Bapa’, kata-Nya ‘jika Engkau mau, ambillah cawan ini dari-Ku. Tetapi, terjadilah kehendak-Mu, bukan kehendak-Ku’. Kemudian seorang malaikat muncul di hadapan-Nya, datang dari sorga untuk memberi-Nya kekuatan. Dalam penderitaan-Nya dia berdoa lebih sungguh-sungguh, dan keringat-Nya jatuh ke tanah seperti tetesan-tetesan darah. (Luk 22: 41ff)

Cerita ini bukan dongeng. Bagi orang dewasa, kisah ini menggemakan pengalaman kita sendiri. Kesendirian, penderitaan, ketakutan, gejala-gejala fisik, malaikat kasih yang tak terduga. Tetapi inti dari semua ini adalah kasih yang dirasakan menyelimuti-Nya, yang memberi-Nya kekuatan untuk mengasihi mereka yang bahkan, pada waktu itu, tidak Dia kenal.

Sumber : www.wccm.org 
Terjemahan : Sisca Hadiprodjo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar