Sabtu, 28 Maret 2015

SABTU MINGGU KELIMA PRAPASKAH



WCCM Lent Reflections 2015
Saturday 5th  Week Lent
Yoh 11:45-56:
Ia berangkat dari situ ke daerah dekat padang gurun, dan di situ Ia tinggal bersama-sama murid-murid-Nya.

Dalam instruksi di dalam pesawat sebelum terbang anda biasanya diberitahu bahwa dalam keadaan darurat anda harus meninggalkan segalanya bahkan sepatu anda juga. Saya bertanya-tanya berapa orang yang akan membawa tas jinjing atau laptop atau mengeluarkan dokumen dari tas dalam kompartemen di atas kepala mereka. Pasti sulit dalam keadaan krisis semacam itu seperti halnya dalam meditasi harian yang juga harus meninggalkan segalanya. Tapi yang ditinggalkan adalah hal-hal dan pikiran-pikiran.


Ketika penumpang pesawat 9-11 bersiap-siap untuk menghadapi akhir hidup mereka, sepertinya hanya ada satu hal yang mereka perhatikan. Dengan cara yang mengerikan, mereka pasti didorong masuk dalam pelepasan total seperti narapidana yang menunggu hukuman mati atau seseorang yang menderita penyakit mematikan. Banyak yang hanya meminta untuk menelepon orang-orang yang mereka kasihi dan memberitahu mereka bahwa mereka mengasihinya.

Pada saat-saat kritis dalam hidup-Nya, Yesus ada dalam kesendirian, namun kesendirian bersama dengan murid-murid-Nya yang terdekat. Dia tahu bahwa Dia adalah orang yang ditandai yang sedang menunggu ketukan pintu di tengah malam, atau dalam kasus-Nya, menunggu kecupan pengkhianatan di taman, insting-Nya mengatakan untuk pergi dekat padang gurun – sebuah tempat yang diasosiasikan dengan kesendirian dan sekaligus semua relasi yang terdalam, dalam dasar keberadaan. Dan dia berangkat ke situ dengan manusia-manusia yang paling Dia kenal baik dan, dengan semua kelemahan-kelemahan mereka, paling mengenal Dia dengan baik juga.

Kesendirian itu penuh kejujuran dan seringkali menyenangkan meskipun pada saat-saat menyakitkan. Kesepian adalah neraka yang terbuat dari ilusi keterpisahan. Dalam kesendirian kita mampu memiliki relasi yang kuat dan dalam karena di dalam kesendirian kita menemukan keunikan diri kita, bahkan (atau mungkin, terutama) jika keunikan tersebut diasosiasikan dengan kematian.

Jika meditasi adalah tentang membebaskan diri dari kelekatan-kelekatan dan berangkat ke padang gurun kesendirian, meditasi juga tentang persatuan dengan sesama yang kita sebut komunitas. Mengetahui bahwa kita juga ada bersama-sama dengan murid-murid lain dalam hadirat guru kita, meskipun segala sesuatunya hancur, merupakan sumber sukacita yang tak terbandingkan.

Salam kasih,
Laurence Freeman OSB
Diterjemahkan: Sisca Indrawati H – WCCM Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar