Kamis, 02 April 2015

KAMIS PUTIH 2015


WCCM Lent Reflections 2015

Holy Thursday
Yoh 13:1-15:
Kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya.

Jean Vanier menyebut pembasuhan kaki ini sebagai sakramen yang hilang. Pembasuhan ini terlihat sangat simbolis dan itulah latar belakangnya dilakukan oleh Paus atau imam paroki dengan kelompok yang di pilih di altar. Di pulau Bere, kita melakukannya agak sedikit berbeda, seperti yang diajarkan oleh Jean beberapa tahun yang lalu. Semua orang di gereja, termasuk penduduk pulau tersebut dan orang-orang yang ikut retret, diundang untuk membentuk lingkaran kecil, masing-masing membasuh kaki orang yang di sebelahnya. Ketika masing-masing sudah dibasuh kakinya dan dikeringkan, dia berdoa untuk orang yang melakukan aksi kelembutan dan intim ini.


Banyak orang di gereja, seperti Petrus, benar-benar tidak mau dibasuh kakinya. Sepertinya mungkin memalukan bagi mereka dan cara yang tidak perlu untuk memperpanjang misa. Saya tidak pernah sepenuhnya berhasil membujuk mereka berbuat sebaliknya, meskipun setiap tahun saya hidup dalam harapan.

Ada yang membasuh, ada yang dibasuh, dan ada yang tidak membasuh dan tidak dibasuh dan hanya menonton. Kita adalah sebuah budaya penonton. Kita terbiasa menonton program-program alam di TV dan terpesona akan keajaiban dunia dari keamanan kursi sofa kita. Kita dapat menekan pause kapan saja untuk berdiri dan membuat segelas teh. Kita kembali dan menekan tombol play dan dunia akan tampil lagi. Kita seperti kaisar kuno yang sedang dihibur. Penonton dan konsumen tapi bukan penjelajah, bukan orang yang terjun ke lapangan.

Hari ini kita memulai tiga hari yang berujung pada acara yang cahayanya memandikan kita namun tidak dapat kita pahami. Dan yang tidak akan pernah kita lihat kecuali jika kita menjadi peserta.
Hari-hari tersebut hanya dapat dimasuki sebagai jalan transformasi melalui pintu iman. Saya tidak bermaksud bahwa anda harus percaya semua yang dikatakan tentang mereka. Di jaman kita, percaya itu datang kemudian. Iman itu tentang keterbukaan, penghormatan, ada dan tinggal di sana. Kemudian pada saat tertentu transendensi menyingsing dan semuanya menyatu. Percaya kemudian menjadi relevan.

Namun kita tidak bisa benar-benar ada dan tinggal di sana hanya sebagai pengamat, konsumen, sebagai bagian dari penonton. Kita tidak akan dapat menyentuh realitas kecuali jika kita mengijinkannya untuk menyentuh kita, untuk membasuh kita. Partisipasilah yang mengubah kegelapan menjadi cahaya dan membuka gerbang rahmat.

Seperti yang dikatakan oleh teman Sufi kita, Saat matahari telah terbit, lalu dimana masih ada malam? Ketika bala tentara rahmat datang, di mana masih ada sengsara?

Salam kasih,
Laurence Freeman OSB
Diterjemahkan : Sisca Indrawati H - WCCM Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar