Minggu, 19 Agustus 2012

Dari Penerimaan Menuju Transendensi

Fr. Siriakus Maria Ndolu, OCarm.

Bacaan Injil : Yoh 20:11-17.

Dalam diri setiap orang ada keinginan untuk berubah. Ada keinginan untuk lebih sempurna, untuk bangkit setelah jatuh, kondisi finansial yang lebih baik, lebih sehat, dsb yang pada dasarnya menolak keadaan yang ada. Padahal kebijaksanaan itu tidak terletak pada penolakan tetapi pada penerimaan. Mengubah sesuatu tidak dengan menolaknya tapi dengan menerimanya.


Pada level spiritual, sangat banyak orang menggunakan agama sebagai jalan untuk mencoba menghindari kenyataan. Mereka berdoa agar problem mereka disingkirkan dan supaya kerajaannya sendiri (dan bukan Kerajaan Allah) yang terjadi. Doa menjadi sebuah jalan penghindaran realitas - dan dengan demikian penghindaran Tuhan - dan bukan menerima kenyataan dan menerima Tuhan yang selalu hadir dan diwujudkan dalam kenyataan hidup.

Yesus dalam kehidupan-Nya sendiri menjumpai berbagai macam situasi yang menyakitkan dan menemui kematian-Nya secara kejam. Secara manusiawi Ia takut dan gemetar menghadapi akan sengsara-Nya, namun Dia menghadapi peristiwa mengerikan itu dengan sikap penerimaan. . Ia menerima peristiwa yang menakutkan itu dalam sikap penerimaan. "Bapa, biarlah piala ini berlalu dari-Ku. Tetapi bukan karena kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi." Karena menerima kehendak Bapa Surgawi-Nya, Dia mampu akhirnya mentransendensi (=mengatasi) batas-batas kemanusiaan-Nya dan bangkit dari kematian.

Dalam kisah Injil ini, kita melihat Maria Magdalena dan para murid berusaha menangkap makna dukacita dan kegagalan mereka. Karena mereka menginginkan agar kenyataan peristiwa itu menjadi lain dari apa yang mereka alami, mereka tidak dapat mengenal Yesus yang bangkit. Maria Magdalena hanya bisa mengira tubuh Tuhan telah dicuri orang, sehingga pria yang ia jumpai menjadi seperti penjaga taman. Hanya ketika para murid akhirnya menerima Yesus historis itu, dan tipe relasi mereka dengan Dia itu sudah mati, mereka dapat menerima Yesus yang bangkit dan bentuk baru hubungan dengan Dia.

Doa yang dipanjatkan untuk mengubah dan menolak kenyataan hanya membuat kita frustasi dan membuat kita terjerat dalam kekacauan yang sesungguhnya ingin kita atasi. Meditasi pada sisi lain, adalah doa dengan sebuah hati yang terbuka dan itu akan memberikan kita sebuah jawaban pemberian diri yang terbuka pula. Hanya dengan "hati yang terbuka" kita mampu memberikan pemberian diri yang terbuka pada kenyataan yang kita alami.

(disarikan oleh Sr. Christera, ADM; Sumber : MEDITASI KRISTIANI, Jalan Sederhana Menjumpai Allah; Siriakus Maria Ndolu OCarm; Penerbit Kanisius 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar