Daily Lent Reflections
by Laurence Freeman, OSB
by Laurence Freeman, OSB
"Dan Ia yang telah mengutus Aku, menyertai Aku! Ia tidak membiarkan Aku sendiri, sebab Aku senantiasa berbuat apa yang berkenan kepada-Nya"
Dia selalu rindu
untuk menyenangkan ayahnya dan mendapat persetujuannya. Jauh setelah dia
dewasa, setelah dia menikah dan mempunyai anak, ayahnya menahan materai persetujuan dan kasih terakhir
yang dirindukannya itu. Saat ayahnya mencapai ulang tahun yang penting dia
membelikan ayahnya sesuatu yang selalu diinginkan ayahnya, sebuah Harley
Davidson.
Hadiah itu
menyentuh keinginan rahasia ayahnya yang diceritakan padanya pada saat-saat
intim yang langka bertahun-tahun sebelumnya. Saat dia memberikan hadiah itu,
dia langsung tahu hadiah itu tidak membuat keajaiban seperti yang
diharapkannya.
Ayahnya menerima
hadiah itu dengan sopan, dengan dingin tetapi dia tetap menjaga jarak,
menyembunyikan perasaannya dari anaknya seperti yang selalu dilakukannya. Hati
anaknya yang tumbuh dewasa itu remuk redam; tiba-tiba dia kembali menjadi seorang
anak kecil yang hancur, berteriak meminta penegasan seorang laki-laki yang tak
pernah diterimanya.
Hal ini memang
tidak ada hubungannya dengan tema refleksi hari ini. Seperti yang tertulis
dalam Injil Yohanes, Yesus sering mengacu pada relasi-Nya dengan Bapa-Nya (Bapa
kita). Tetapi tidak seperti relasi dalam anekdot di atas, bukan hubungan
psikologis. Gambaran seorang ayah atau ibu begitu kuat bagi kebanyakan orang
sehingga orang bisa mempertanyakan kebijaksanaan yang mengacu pada Allah dengan
salah satu istilah, begitu sarat dengan muatan psikologis dalam setiap kisah
individu sebagaimana adanya.
Untuk satu hal,
Yesus dan budayanya tentu saja adalah pra-Freudian. Saat kita beranggapan bahwa
paradigma Freudian sudah sampai di bawah permukaan semua interaksi manusia,
pra-Freudian sering dianggap naïve atau primitive. Namun yang lebih jauh dari
ini adalah tingkat dimana Yesus menggunakan simbol ‘Bapa-Ku’ untuk relasi-Nya –
yang merupakan inti acuan universal-Nya dan sumber kuasa-Nya. Sungguh
manusiawi, tetapi tidak secara psikologis. Relasi itu ontologis (Sebuah cabang metafisika yang membahas tentang
kodrat dan relasi makhluk): kodrat menjadi apa adanya, tidak begini atau begitu, individual atau antar pribadi, tetapi cara
segala sesuatu menjadi sebagaimana
adanya. Menjadi ada.
Dengan begitu
kita dapat mengatakan ‘nah, apa itu artinya’? Mungkin itulah sebabnya Yesus
menggunakan simbol bapa, sebagai sesuatu yang dapat kita pahami, tetapi juga menggambarkan
sesuatu yang tidak mungkin untuk kita ucapkan; namun lebih nyata daripada
pemikiran apapun juga. Untuk alasan ini, perasaan yang diteguhkan oleh realitas
pada tingkat yang terdalam dan paling sederhana mungkin menjadi cara yang
terbaik atau satu-satunya jalan bagi anak yang tak dicintai itu untuk dapat
menyembuhkan kebutuhannya yang tak terpenuhi di dalam psikisnya.
Di padang gurun, dalam meditasi, kita diturunkan melewati daerah psikologis (dengan beberapa benturan di tengah jalan), langsung menuju dasar keberadaan.
Mantra kita
adalah fiat kita. Biarlah terjadi.
(Diterjemahkan : Fransisca Hadiprodjo - WCCM Yk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar