Laurence Freeman OSB
Pesan Kristiani, yang lahir dari suatu pandangan yang lebih
dalam daripada kata-kata dan ditularka melalui keheningan penuh roh, sungguh
memalukan. “Allah menjadi manusia supaya manusia dapat menjadi Allah.”
Pernyataan dari teolog awal ini terdengar lebih berani
daripada yang mau ditanggung oleh banyak teolog sekarang ini dan pernyataan itu
dengan keras menentang usaha dualisme gnostik untuk melunturkannya. Artinya
tentu saja hanya dapat dipahami lewat pengalaman hidup kita ketika kita
mencoba, seringkali lemah, untuk hidup seolah-olah itulah kebenaran inti, hal yang nyata dalam segala keadaan.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Inkarnasi adalah Allah
yang dikonsentrasikan menjadi manusia yang tunggal sehingga Allah dapat
benar-benar ‘menjadi sepenuhnya manusia’. Bagaimana lagi seseorang dapat
menjadi manusia tanpa menjadi manusia dalam waktu dan tempat tertentu? Para teolog
klasik berpikir hal ini perlu tetapi penderitaan yang dialami oleh individu ini
tak terelakkan. Allah perlu menjadi manusia. Yesus, pemenuhan kebutuhan ilahi ini,
tidak ingin menderita lebih dari manusia ingin menderita. (Bapa jika ini
kehendak-Mu, biarlah cawan ini berlalu dari-Ku).
Doktrin ini mungkin terdengar abstrak dan picik bagi
kebanyakan orang sekarang ini. Sebenarnya, doktrin ini mengubah cara kita
berinkarnasi dalam cerita hidup kita yang unik sepanjang seluruh fase
perkembangan kita. Doktrin tersebut membantu
kita untuk tidak lekat pada mentalitas kekanak-kanakan atau tingkah laku
remaja seperti yang kita lihat sering terjadi dalam banyak konflik-konflik
kekerasan dan juga dalam banyak masalah-masalah pribadi kita.
Hal ini juga mengajarkan kita cara otentik untuk menangani
penderitaan. Seperti yang dikatakan oleh Leonard Cohen, kita harus belajar untuk
meratap dalam batas-batas tegas martabat dan keindahan. Kecenderungan ego untuk
mengasihani diri beresiko membuat kita tersingkir dan kepahitan. Dengan
mengetahui tujuan kita, dan kemana penderitaan itu menuntun kita, memberi kita belas
kasih dan martabat baik untuk pendekatan kita akan penderitaan maupun
kekecewaan dan kehilangan.
Inilah sebabnya Prapaskah merupakan masa/musim Kristiani.
Inilah sebabnya meditasi adalah doa Kristiani. Bukan untuk menjadi hukuman bagi
diri kita karena kesalahan-kesalahan kita atau sekedar untuk mencari pencerahan
sebagai pelarian diri dari penderitaan. Tetapi untuk menjadi sepenuhnya
manusia, sadar seutuhnya, supaya kita dapat benar-benar ‘menjadi Allah’ karena
kita telah diprogram untuk melakukannya.
(Diterjemahkan : Fransisca Hadiprodjo - WCCM Yk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar