Laurence Freeman OSB
Allah mencoba Abraham, Ia berfirman kepadanya:
“Abraham,” lalu sahutnya: “Ya, Tuhan.” Firman-Nya “Ambillah anakmu yang tunggal
itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan
persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang
akan Kukatakan kepadamu.” (Kejadian 22:1)
Kisah di atas bukanlah
kisah yang menyenangkan rasanya. Kita lebih suka membuang tumpukan sampah
limbah antropologi. Tetapi tanah Moria adalah sebuah realitas di suatu tempat
yang lebih dalam, realitas batin keberadaan kita. Di situlah, seperti semua
tradisi mistik mengingatkan kita, kita harus melepaskan (‘mengorbankan’) segala
yang membuat kita lekat. Manusia seperti apa yang tidak lekat pada apa yang
dikasihinya?
Bagaimana kita tidak
bisa menjadi manusia seperti itu? Kita tahu bahwa tanah Moria itu ada tetapi
kita tidak tahu di pegunungan yang mana – dalam situasi apa atau kapan atau
bagaimana – kita dipaksa untuk melepaskan segalanya. Tetapi tidak ada cinta
tanpa pengorbanan karena cinta hanya dapat tumbuh melalui pelepasan, pelepasan
yang berlangsung terus menerus. Sekalipun tidak ada cinta dalam hidup kita,
kita tetap harus melepaskan.
Meditasi membuat kisah
yang tidak menyenangkan ini menjadi lebih mudah untuk dipahami. John Main
berkata bahwa ‘saat kita memasuki keheningan di dalam diri kita… kita masuk
dalam sebuah kekosongan dimana kita tidak dijadikan. Kita tidak dapat menjadi
pribadi sebelumnya, atau pribadi seperti yang kita sangka. Sebenarnya kita
tidak sedang dimusnahkan tetapi dibangkitkan pada sumber baru yang kekal dari
keberadaan kita.’ (Word Into Silence)
Meskipun demikian kita
mungkin tidak tertarik untuk menghadapi kedalaman realitas ini. Mungkin,
awalnya, kita hanya bisa berkunjung sebentar dan segera balik ke permukaan
untuk menghirup udara keakraban dan kenyamanan. Padang gurun adalah masalah
belajar meningkatkan kemampuan kita dalam kenyataan, mampu bertahan dalam
tuntutan-tuntutan yang diciptakannya.
Inti dari semuanya
adalah bahwa kita dapat memahami bacaan Injil hari ini, dimana gereja dengan cerdik
menyandingkannya dengan kisah Abraham dan Ishak. Hari ini kita membaca transfigurasi
Yesus di ‘gunung suci’ di hadapan orang-orang yang Dia kasihi dan berbagi diri-Nya.
Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes dan bersama-sama
dengan mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ mereka sendirian saja.
Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaian-Nya sangat putih berkilat-kilat.
Tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat mengelantang pakaian seperti itu.
Perubahan rupa berasal
dari kedalaman batin tempat Dia tinggal. Kedalaman itu menyentuh dan bahkan mengubah
pakaian-Nya: mulai dari dalam dimana tidak ada detil yang tidak penting, hanya kekhususan,
ke permukaan di mana urusan hidup sehari-hari dilakukan.
(diterjemahkan : Fransisca Hadiprodjo - WCCM Yk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar