Daily Lent Reflections - Fr. Laurence Freeman, OSB
Tubuh tidak
berbohon dan tidak pernah lupa. Pikiran – sulit untuk mengatakan apa yang
sebenarnya dipikirkan karena pikiran bekerja pada banyak tingkat yang jarang
sekali berkomunikasi satu dengan yang lain. Dan pikiran, seperti yang kita saksikan
menjauh dari kita oleh karena dementia/kepikunan, dengan mudah dan cepat dapat
menjadi tak berpikir.
Jadi, mengapa
kita beranggapan bahwa pikiran dapat membawa kita pada kebenaran lebih jauh daripada
tubuh? Hanya ilusi yang menganggap bahwa kebenaran adalah abstrak, tak
bertubuh. Bethlehem dan Padang Gurun godaan Yesus, Salib dan Kebangkitan yang membebaskan
kesalahan kita akan gagasan tersebut.
Saat ini kita
masih berada di padang gurun, menahan godaan pikiran menuju abstraksi dan ilusi
(kekuasaan, ketenaran, kendali, dan kepemilikan yang membuat ego jatuh cinta). Kita belajar untuk melatih disiplin fisik
sehingga kita dapat terbebas dari kelekatan akan keinginan sekunder yang
menggantikan diri bagi keinginan kita yang terdalam.
Dengan demikian
kita belajar untuk menemukan dan merangkul keinginan sejati itu, yang terpenuhi
hanya dengan merangkulnya, tidak pernah dengan menggenggam gambaran akan
pemenuhannya. Hanya dengan menghadapinya dalam kekosongan ketidak sempurnaan dan
kerinduan kita, kita jatuh dalam kemiskinan roh yang membawa kekayaan
tertinggi. Hanya dengan melepaskan keinginan kita dapat memenuhinya.
Namun kebiasaan
lama memang sulit dihilangkan, seperti Prapaskah sampai tahap ini telah
berkali-kali mengajarkan kita. Seperti bangsa Israel yang putus asa
ditengah-tengah perjalanan mereka yang melelahkan di padang gurun dan terbayang
hari-hari perbudakan mereka yang terjamin: Kami ingat ikan yang kami makan tanpa
bayar di Mesir, mentimun, melon, daun bawang, bawang Bombay dan bawang putih.
Masalahnya adalah mereka – dan kita juga – menghuni kenangan bukan saat kini ketika
kita menjadi tanpa tubuh dan hanya berpikir tentang dunia materi.
Jika kita menjadi
semakin penuh dalam saat kini, imajinasi kita menjadi semakin berkurang, dan
kita melihat lebih banyak. Inilah sebabnya dalam meditasi seperti halnya dalam
Ekaristi, kita makan dan minum realitas. Dan inilah sebabnya postur tubuh
maupun perhatian pikiran keduanya menjadi penting saat kita belajar bermeditasi.
(Diterjemahkan : Fransisca Hadiprodjo - WCCM Yk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar