Daily Lent Reflections
by Fr. Lurence Freeman, OSB
by Fr. Lurence Freeman, OSB
Saat musim dingin
tiba di Kutub Utara, beruang-beruang kutub yang kesepian menyendok es sendiri
untuk membuat tempat tidur dan meringkuk untuk hibernasi panjang mereka.
Kemudian turun salju dan menyelimuti mereka, menjaga mereka tetap hidup di gurun
es, selimut dingin menjaga mereka dari dingin yang mematikan. Beruang-beruang
betina melahirkan selama tidur nyenyak mereka yang panjang. Teriakan bayi-bayi
mereka mengaktifkan suplai susu ibunya, tujuh kali lebih kaya nutrisi daripada
susu manusia; dan insting keibuannya terbukti lebih kuat dari rasa kantuk yang
paling kuat. Di musim semi, beruang betina pergi, dengan bayi-bayi mereka tersandung
di kaki, untuk mencari makanan keras tetapi tetap waspada terhadap beruang-beruang
jantan kelaparan yang mengincar bayi-bayi mereka untuk dijadikan snack yang
lezat.
Mau tidak mau
kita melihat diri kita tercermin dalam dunia binatang. Semua kesalahan manusia kita
ada di sana, pembagian wilayah, kecemburuan seksual dan kepemilikan, insting
ego untuk mempertahankan diri. Yang tidak ada pada mereka adalah rasa berdosa.
Memakan anak beruang muda, bertarung sampai mati demi supremasi seksual tidak
menodai rasa bersalah mereka. Jika mereka melakukan hal-hal yang kita temui
tercermin dalam kualitas kita yang lebih tinggi, kesetiaan atau pengorbanan
diri, hal ini juga tetap berada dalam lingkup kodrat dan tidak dapat dianggap
sebagai kebajikan. Dalam kitab Kejadian, Allah menciptakan binatang untuk menemani
manusia tetapi ternyata mereka tidak cukup meringankan kebutuhan manusia akan
kesatuan.
Kita sering mengutuk kebiadaban manusia yang seperti hewan yang tentu saja
merupakan sebuah penghinaan bagi kerajaan binatang. Binatang berburu dan membunuh
tetapi mereka melakukannya untuk bertahan hidup, tidak seperti kita yang
melakukannya untuk kenikmatan atau untuk memindahkan kemarahan kita pada makhluk
yang lebih lemah.
Lalu apa bedanya?
Ada beberapa factor yang kita sebut kesadaran atau kualitas kesadaran tertentu
yang secara khusus dimiliki oleh manusia. Bukan kesadaran yang membuat kita
secara kodrat lebih tinggi melainkan kesadaran yang membuat kita jauh lebih beruntung.
Kita tidak (hanya) lebih pandai dan lebih baik secara biologis. Tetapi kita tergelitik
ke kondisi yang lebih waspada oleh kesadaran bahwa kita dikenal. Kita hidup di
dalam pengetahuan yang bijak yang lebih dari sekedar insting dan mempertahankan
diri. Mari kita menyebutnya sebagai rahmat – sebuah karunia yang mengalir dari
sumber keberadaan sejati yang tak tertandingi lansung menuju penampungan jiwa kita.
Lompatan ke depan
selanjutnya adalah dalam proses menyadari hal tersebut, kita didorong untuk
mengubah perhatian kita kepada sumber yang tak terlihat meskipun hal itu
berarti, memang seperti itu, melepaskan perhatian dari diri kita sendiri.
Dengan begitu kita mencari seorang guru yang dapat diraba dan dilihat yang di dalam
dirinya hadir penuh dan tersedia sumber yang agung tersebut. Melalui hubungan
tersebut kita dapat minum dari sumber keberadaan sesehat bayi-bayi beruang
meminum susu ibunya.
Masuklah Yesus.
"Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, maka kamu benar-benar murid-Ku, dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu."
(Diterjemahkan: Fransisca Hadiprodjo - WCCM Yk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar