Holly Week Reflections
oleh : Laurence Freeman, OSB
Tanpa kasih tidak ada belas kasih. Eros juga harus ada dalam adonan jika harus
ada agape. Jika tidak ada rasa ketertarikan tidak ada yang dapat mendorong kita
memasuki transendensi.
Tetapi kasih dapat
terlepas dari formula ini dan berdiri sendiri – hanya melayani nafsu dan
kepentingan-kepentingannya sendiri. Kasih berubah menjadi kekuatan jahat dalam
jiwa kita yang mengakibatkan kehancuran dunia di sekitar kita. Kita terpental
kesana kemari dari hasrat menjadi kejenuhan sebelum kita mulai mencari obyek
lain untuk diinginkan. Kecanduan segera mengajarkan kita penderitaan yang
terkandung di dalamnya. Bagaimana hal ini terjadi, ceritanya sungguh rumit.
Namun jalan keluarnya sederhana: mengijinkan diri anda untuk dikasihi.
Sepertinya anda tidak
memerlukan kasih untuk membiarkan diri anda dikasihi. Kasih ada dalam hal
mengasihi dan pencarian obyek untuk diinginkan. Tetapi Kasih Yesus yang
mengawali Minggu Suci hari ini membawa kita lebih fokus pada titik kebenaran
dimana dualitas antara mengasihi dan dikasihi, sumber dualitas dari semua
egoisme, menjadi terlebur.
Dengan terleburnya
keterpusatan diri datanglah pemutusan karma. Kitab suci melihat hal ini secara
kolektif maupun secara pribadi. Kisah yang mulai kita ceritakan kembali hari
ini begitu tak ada habisnya dan universal karena hal ini.
Semua imam berdiri
menjalankan tugasnya setiap hari, terus menerus menghunjukkan korban yang sama
yang tidak mampu membuang dosa. Di sisi lain, Dia menghunjukkan satu korban
tunggal untuk dosa, dan kemudian mengambil tempat untuk selamanya, di sisi
kanan Allah. (Ibrani 10: 15)
Itulah cara relijius dan
alkitabiah untuk mengungkapkannya. Namun intinya universal: dalam Yesus
lingkaran pengulangan ini terputus dan karma di transendensikan. Kita tidak
perlu lagi mencari obat ‘kelegaan sementara’. Obat ini benar-benar dapat
menyembuhkan.
Kita bisa meragukan hal
ini saat pertama kali mendengarnya. Namun Injil hanya menceritakan kisah
manusia dan terserah pada kita untuk memberinya makna. Hal ini mengubah
keraguan menjadi iman. Hal ini terjadi saat kisah tersebut menjadi kita.
Kemudian Dia menjauh
dari mereka, kira-kira selemparan batu, dan berlutut berdoa. ‘Bapa’, kata-Nya
‘jika Engkau mau, ambillah cawan ini dari-Ku. Tetapi, terjadilah kehendak-Mu,
bukan kehendak-Ku’. Kemudian seorang malaikat muncul di hadapan-Nya, datang
dari sorga untuk memberi-Nya kekuatan. Dalam penderitaan-Nya dia berdoa lebih
sungguh-sungguh, dan keringat-Nya jatuh ke tanah seperti tetesan-tetesan darah.
(Luk 22: 41ff)
Cerita ini bukan
dongeng. Bagi orang dewasa, kisah ini menggemakan pengalaman kita sendiri.
Kesendirian, penderitaan, ketakutan, gejala-gejala fisik, malaikat kasih yang
tak terduga. Tetapi inti dari semua ini adalah kasih yang dirasakan
menyelimuti-Nya, yang memberi-Nya kekuatan untuk mengasihi mereka yang bahkan,
pada waktu itu, tidak Dia kenal.
Sumber : www.wccm.org
Terjemahan : Sisca Hadiprodjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar