Oleh : Laurence Freeman, OSB
Di bawah semua sistem hukum sepanjang sejarah, kematian menjadi
kejahatan dan hukuman yang paling besar. Tidak bisa diubah lagi, absolut, dan
itulah salah satu alasan yang menjadikannya sangat mengerikan. Alasan lain,
kematian adalah kehilangan yang mengikat semua kehilangan. Dalam semua yang
pernah kita miliki yang diambil dari kita secara paksa atau kecelakaan, rasa
takut akan kematian muncul. Ketika kematian itu akhirnya datang sepertinya
untuk membuktikan bahwa rasa takut itu dibenarkan: akhirnya semuanya pergi;
jadi semua itu pada akhirnya tiada artinya.
Pertama, ada terang yang luar biasa jelas yang membuat
kematian-Nya bersinar ke dalam pikiran dan hati-Nya. Kita tidak melihat seluruhnya
karena tidak seorangpun yang dapat mengetahui semua yang melintas bahkan di
dalam pikirannya sendiri, apalagi pikiran orang lain. Tetapi kita melihat cukup
untuk mengetahui bahwa Dia menderita kehilangan hubungan-Nya dengan keindahan
dunia. Dia mengalami keterpisahaan persahabatan manusia dengan
sahabat-sahabat-Nya yang telah berjalan bersama-Nya di bumi yang indah ini
sebagai rumah bersama mereka.
Dia mengetahui kematian seperti layaknya setiap manusia. Kematian
harus diterima dan Dia menyerahkan diri-Nya. ‘Ke dalam tangan-Mu Ku serahkan
nyawa-Ku.’ Kita tidak diberitahu bahwa ada sebuah suara yang berbisik, ‘jangan
takut, ini cuma pertunjukan, kamu akan baik-baik saja’. Memang benar,
tertutupnya semua yang Dia tahu dan apa adanya Dia. Menyerahkan segalanya tidak
berarti yakin bahwa semua yang diberikan tidak akan terlebur sia-sia melainkan
diubah dan dikembalikan.
Namun pada puncak kematian yang amat sangat mengerikan dan
kesepian ini kita melihat – karena Dia mengalaminya – sesuatu yang tidak menghalangi
kematian-Nya melainkan menyinarinya. Saat cahaya kehidupan redup dan mati,
sebuah cahaya lain dari sumber yang lain bersinar lebih kuat. Kasih yang telah
Dia kenal di dalam pengenalan diri-Nya yang paling dalam sepanjang hidup-Nya
terbukti nyata, lebih nyata dari kematian. Kita mengetahuinya karena pada saat
kematian-Nya, Dia memberikan diri-Nya untuk kasih pada mereka yang telah
mengambil nyawa-Nya. Dia memberikan dan mengampuni dan pengampunan itu
menempatkan kematian kuno tersebut dalam terang yang baru. Apa terang itu, kita
lihat saja nanti.
sumber : www.wccm.org
diterjemahkan : Sisca Hadiprojo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar