Tak terlihat, tak masuk akal. Mereka
yang telah kehilangan yang dikasihinya seringkali terkejut – dan jauh lebih
sakit – saat menyadari betapa banyak dan cepatnya mereka melupakan orang yang
telah meninggalkannya. Tetapi cara kita mengasihi tergantung pada tempat dan
keadaan kita mencintai. Ketika mereka meninggalkan dunia fisik kita, dan ada
jurang pemisah yang membatasi dunia kita dengan dunia mereka, tak dapat diubah
lagi pelepasan besar terjadi makin cepat. Kesan kuat yang pernah kita nikmati
bersama dengan terus menerus berelasi dengan mereka dalam kehidupan sehari-hari
menjadi pudar. Menipisnya kenangan membuat jiwa-jiwa orang yang pernah kita
rangkul tampak sebagai bayangan. Tidak ada kenangan baru yang terbentuk.
Dengan berlalunya waktu, bahkan
pisau putar kesedihan berhenti berputar dengan kejamnya. Yang mati tetap mati
dan kita melihat bagaimana kematian selalu dan dimanapun mengelilingi
kita. Tidak seorang pun yang dilahirkan belum atau tidak akan pernah mati.
Inilah klub tempat kita semua berasal, pajak yang tak seorangpun dapat
menghindarinya.
Saat batu digulingkan untuk menutup
kubur, Dia mulai menggelinding menuruni lereng gelap. Masih di hari Sabtu, hari
Sabbath duka cita gelisah, kita mendengar dan mendengarkan suara yang muncul
dari kematian tersebut. Kita mengintip ke dalam malam tak berbulan dan
tak berbintang untuk mendapat secercah pesan. Kita berdiri di tengah-tengah
persimpangan dan masing-masing arah tidak membawa kita kemana-mana. Hanya dalam
kegelapan tanpa harapan ini kita dapat menemukan harapan yang tak dapat mati.
Tidak ada apa-apa sekarang selain dasar yang kita pijak untuk terus maju. Yang
tersisa hanyalah bagi harapan untuk berubah menjadi iman. Dan mungkin iman akan
terbuka menjadi kasih.
Laurence Freeman OSB
Sumber : WCCM Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar