Jangan memanggil seseorang bahagia
sampai dia mati, kata penyair Aeschylus. Orang dapat memahami pandangannya,
meskipun terdengar sedikit menyedihkan. Kematian menandai garis batas absolute
yang tidak dapat dilampaui oleh perubahan keberuntungan hidup, penderitaan tak
terduga, kemunduran dan kekecewaan karena tidak mencapai tujuan. Memang benar
kita tidak dapat melihat apa yang ada di sisi lain namun pasti berbeda dari
hidup di sisi sekarang ini.
Inilah pemahaman minimalis mengenai
kematian.
Dalam rasa lega dan terbebaskan yang
tak terduga yang sering dirasakan pada saat kematian, ada suatu kebenaran yang
lebih dalam dan lebih manusiawi serta menghidupkan. Hembusan napas terakhir
sepertinya menuntun ke dalam inspirasi mendalam dan menggembirakan dari
jenis udara yang berbeda dan lebih murni. Hal itu membuat kematian, yang jika
sebaliknya akan terlihat mematahkan semua nilai-nilai kehidupan, menjadi sebuah
sumber makna dan harapan yang tidak ada cara biasa yang dapat menjelaskannya.
Cara kita mati banyak mengatakan
tentang jenis pribadi yang kita pilih untuk menjadi melalui cara kita hidup.
Pada Salib kita menyaksikan tidak adanya penyangkalan absolute, penerimaan
realitas – pengalaman akan Allah sebagai dasar keberadaan – yang sebenarnya
mengubah realitas bagi mereka, seperti kita, yang berdiri di kaki pohon
kehidupan ini, pohon pengetahuan akan yang baik dan yang jahat. Kita memakan
buahnya dengan mengijinkan kematian kita – begitu penuh dengan penolakan dan
penyangkalan – untuk diangkat ke orbitnya, seperti sampan kecil yang terdorong
maju oleh munculnya kapal pesiar. Kematian ini melenyapkan rasa takut akan
kematian sampai hanya menjadi tidak lebih dari semprotan ombak besar.
Siksaan dikembang biakkan dalam
perlombaan, teriakan kematian yang memilukan, seperti yang disebut oleh
Aeschylus, tidak dapat disangkal namun dapat disembuhkan. Yesus meninggalkan
kita berdiri pada kaki pohon mati, seperti orang berduka rebah pada ranjang
kematian. Namun keintiman persahabatan yang Dia berikan pada kita lebih kuat
dari ini. Keheningan membisikkan bahwa Dia telah menyelam ke kedalaman sampai
tak terlihat untuk menghadapi dewa kegelapan umat kita. Napas Roh yang panjang
dan dalam yang Dia ambil untuk menyelam akan membawa-Nya kembali ke permukaan.
Laurence Freeman OSB
Sumber : WCCM Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar