Saat mereka sedang makan Dia berkata ‘Aku berkata kepadamu sesungguhnya
salah satu dari engkau akan mengkhianati Aku’.
Jika kita tidak mengambil resiko pengkhianatan, kita tidak akan pernah
belajar untuk mencintai. Resiko tersebut bagaimanapun juga berjalan dua arah:
kita dapat dikhianati oleh mereka yang benar-benar kita percaya. Mereka adalah
orang-orang dengan - dan melalui - mereka kita menjadi paling rapuh.
Mereka
juga adalah orang-orang yang dapat membawa sukacita besar bagi kita. Tetapi
dengan resiko yang sama kita mungkin juga mengkhianati orang-orang yang kita
cintai. Kita tidak mau membayangkan diri kita sebagai pengkhianat dan seringkali
hal itu terjadi tanpa kita sadari dan kita sengaja bahwa kita memang
mengkhianati mereka yang dengan dan melalui kita menjadi rapuh. Kemudian, kita
mencari-cari alasan atas pengkhianatan kita atau kita menyangkal bahwa kita
telah melakukannya atau berusaha menyepelekan dampaknya. “Hanya sekali saja,
tidak usah dibesar-besarkan”. Dikecewakan atau mengecewakan orang lain selalu
bisa dimaafkan namun jarang sekali langsung terjadi.
Begitu kita pernah dikhianati – atau saat kita mengkhianati – kerusakan
sudah terjadi. Rahasianya, seperti yang ditunjukkan oleh Yesus, adalah menjadi
benar-benar terbuka dan menghadapi penyangkalan yang menyertai kesalahan yang
paling memalukan dalam semua relasi pribadi. Akibatnya, kita dikhianati hanya
jika kita membiarkan diri kita dikhianati. Untuk bertahan dari kemunduran dan
penolakan akibat dari rasa dikecewakan atau ditolak kita perlu menjaga saluran
kesembuhan tetap terbuka setiap kali luka itu timbul.
Anehnya, unsur relasi manusia yang paling manusiawi dan menyakitkan ini
harus membuka pintu bagi kodrat keilahian dan peng-ilahian kita sendiri.
Laurence Freeman OSB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar