Thursday after Ash Wednesday.
Seorang pemuda kaya datang kepada
Yesus dan bertanya apa yang harus ia lakukan untuk ‘memperoleh hidup abadi’ –
bisa kita katakan untuk dapat benar-benar bahagia, puas dan mendapat kepastian
bahwa hidup memiliki tujuan akhir. Dia sedikit angkuh dan bahkan terdengar agak
merendahkan diri ketika dia menyebut Yesus ‘guru yang baik’. Yesus sepertinya
adalah sosok yang menghargai makna setiap kata – sebuah unsur penuh
kebenaran-Nya. Maka Yesus memutar balikkan kata-kata pemuda itu dengan bertanya
mengapa dia memanggil-Nya ‘baik’ jika hanya Allah saja yang baik’.
Perjumpaan kita dengan diri sejati
kita seringkali bermula seperti ini – dengan keangkuhan kita yang tergelitik
atau gelembung ego kita pecah. Terkadang ego kita suka bersembunyi dibalik
topeng pencari hal-hal rohani. Selama mereka sudah menentukan jalannya, mereka
mencari Allah tetapi dengan syarat mereka tetap memegang kendali atas
segalanya. Oleh sebab itu mereka hanya menemukan pecahan-pecahan diri sejati
mereka yang kemudian mereka coba ilahikan. Yesus mengatakan kepada pemuda itu
untuk mentaati ajaran-ajaran moral – menjadi baik dan jujur. Jangan berusaha
dan menjadi sesuatu spesial. Jadilah dirimu sendiri dan latihan untuk
mengendalikan diri serta konsisten.
Kemudian sesuatu yang tidak biasa
terjadi. Pemuda itu jelas tergerak dan merasa dirinya tidak spesial secara
egoistic tetapi secara umumnya unik. Dia tidak lebih baik atau lebih buruk dari
kebanyakan orang. Saat kerendahan hatinya – kesadaran akan dirinya – membuatnya
dapat diberi pengajaran. Yesus kemudian mengatakan kepadanya bahwa jika dia
benar-benar serius akan apa yang ditanyakannya – untuk mendapatkan sesuatu
tanpa nama ini lebih dari yang dia inginkan – maka dia harus benar-benar
terlepas dari semua kepemilikannya dan tidak hanya sekedar berbagi melainkan
memberikan segalanya. Dia pergi meninggalkan Yesus dengan berat hati karena dia
tidak dapat melakukannya, setidaknya tidak sekarang.
Mungkin dia nantinya akan
belajar bahwa untuk menjawab panggilan penyangkalan diri dan kemiskinan roh
absolute ini bukanlah sesuatu yang instant. Semoga, seperti para meditator
harian lainnya, dia akan menyadari bahwa tantangan untuk melakukan hal yang
paling sulit bagi manusia sekalipun – untuk mentransendensikan drii kita –
adalah suatu karunia. Hal yang mustahil adalah suatu rahmat. Kita hanya perlu
mengambil langkah awal dan terus mengulanginya sampai kita tahu bahwa kita
sekarang ada di sana (dan sebenarnya kita selalu ada di sana). Pencapaian
tujuan manusia oleh karenanya adalah suatu karunia, karya rahmat yang dapat
menembus pertahanan kita hanya pada titik yang paling lemah.
Laurence Freeman OSB
sumber : WCCM Indonesia
sumber : WCCM Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar