by Fr. Laurence Freeman, OSB.
Korden diangkat
lagi dan secara ritual kita mulai menghitung dan menghidupkan kembali dalam
batin sebuah peristiwa besar yang terjadi selama beberapa hari jauh di masa
lalu. Dunia tidak berhenti saat hal itu terjadi. Hanya secara simbolis matahari
benar-benar menjadi gelap dan selubung kuil terbelah. Perdagangan dan kehidupan
emosional orang-orang berjalan seperti biasanya melewati drama singkat yang tragis
atas penghinaan dan pelenyapan pion tak berdaya dalam politik dunia. Tontonan
pengadilan singkat, penyiksaan publik untuk menjaga kepuasan orang banyak, sebuah
eksekusi aktivis agama (atau politik) yang berkibar sejenak dalam imajinasi
umum dan kemudian kehilangan dukungan dan tenggelam di antara gelombang masalah
publik yang lebih besar dan kepentingan-kepentingan pribadi.
Teman-teman
dekat-Nya melarikan diri, kecewa dan mungkin marah pada-Nya, menyelamatkan diri
mereka sendiri. Dia ditinggalkan mati hanya dengan ditemani oleh ibu-Nya,
seorang murid yang dikasihi-Nya dan beberapa wanita yang setia di kaki
salib-Nya.
Dan kita di sini, dalam tahun 2012 menceritakan kisah
tersebut dari laporan-laporan yang sedikit terputus tapi tak terlupakan yang
ditulis beberapa dekade setelah peristiwa itu terjadi. Kita tidak memiliki
kata-kata-Nya kecuali terjemahannya. Dia tidak menulis apapun. Kita tidak tahu sarapan
apa yang Dia suka atau siapa Dia seperti yang Dia pikirkan. Dia lebih ada/hadir
daripada sosok sejarah atau fiksi yang lain, namun ketika anda melihat-Nya
lebih dekat, Dia menjadi kabur dan menghilang. Jika kita berjumpa dengan-Nya
kita diubah tetapi kita tidak dapat menggenggam-Nya.
Inkonsistensi dan
paradoks yang begitu
menjengkelkan pikiran yang rasional ini, jika berjalan secara terpisah
merupakan sarana transmisi yang luar biasa. Anak-anak yang menyukai cerita dan
mereka yang mengenali nilai karya seni yang besar, sangat senang untuk mengulanginya terus menerus.
Dalam kisah ini, pengulangan itu sendiri merupakan tindakan iman yang memperkuat
iman sehingga memperjelas visi.
Dampaknya lebih
kuat jika kita berakting teater dalam menceritakannya daripada hanya duduk
seperti seorang penonton pasif. Dalam kisah ini tidak ada yang hanya menjadi pengamat.
Kita memiliki kesempatan yang terbatas dalam satu kehidupan untuk mengulang
drama ini kembali dan menembus maknanya. Tidak tahu berapa banyak kesempatan
yang kita miliki adalah bagian dari proses yang menghubungkan kita dengan Dia
yang menderita dan mati tetapi tidak berhenti sampai di situ.
(Diterjemahkan: Fransisca Hadiprodjo - WCCM Yk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar