by Laurence Freeman, OSB
Sakit gigi itu
cukup menyiksa. Saat gigi masih sakit, rasa sakit fisik yang ekstrim tersebut menghalangi semua stimuli dunia, baik
maupun buruk. Rasa sakit itu menjadi pusat bidang persepsi kita. Kita menjadi
jengkel karena pikiran kita begitu terserap oleh sesuatu yang hanya kejadian sementara;
dan juga karena membuat kita begitu terpusat pada diri sendiri. Kita mungkin
berkata pada diri sendiri bahwa kejadian tersebut tidak akan berlangsung lama
tetapi sementara kita melalui rasa sakit tersebut rasanya seperti seekor
binatang manja yang mengharapkan seluruh perhatian kita.
Tentu saja tidak
hanya sakit gigi. Duka cita mendalam atas kehilangan seseorang yang kita cintai
juga membebani wilayah jantung dan menusuk ulu hati kita seperti halnya rasa
sakit fisik. Tubuh adalah sakramen dan sarana untuk menyatakan kesadaran kita
pada semua tingkat kesadaran.
Dan ketika mereka sedang
makan, Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara
kamu akan menyerahkan Aku."
Pengalaman pengkhianatan
seperti yang banyak dialami dalam perkawinan dan persahabatan juga merupakan
penderitaan berat.
Darimana Yesus dapat
mengetahui bahwa Dia akan dikhianati? Kita tidak tahu. Tetapi Dia menanggapinya
dengan penguasaan diri. Dia tidak mengutuk Yudas seperti yang tampaknya dilakukan
oleh beberapa penulis injil. Motif si pengkhianat tetap tersembunyi dan sulit
untuk memaafkan tanpa mengetahui alasan seseorang yang kita percaya dan kasihi
berbuat demikian.
Jika kita benar-benar memiliki
pengetahuan itu, seperti yang pasti dimiliki oleh Yesus, kita akan memilih diam
daripada mengutuk. Dan maaf akan memasuki sistem relasi kita yang rusak, bukan
tuduhan.
(Diterjemahkan: Fransisca Hadiprodjo - WCCM Yk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar