Laurence Freeman OSB
“Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami
memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah
kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan,
atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah
kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau?” (Matius 25: 37)
Pada akhirnya, yang terpenting adalah apa yang kita lakukan, bukan apa
yang apa yang kita sangka kita lakukan. Banyak orang relijius yang merasa bahwa
sudah menjadi tugas mereka untuk membela Allah dari orang-orang yang tak
bermoral yang menuduh atau membunuh
karena mereka adalah orang yang paling mengenal Allah. Bagaimana seandainya
Allah tersembunyi dalam diri orang lain? Bagaimana seandainya jika nama Allah
tak dapat diucapkan, tenggelam dalam keheningan, menjadi satu dengan nama
manusia kita? Bilamana kami melihat
Engkau…? Engkau tidak menyebutkan nama-Mu. Kami tidak mengenali-Mu.
Nam itu ditemukan dalam diri orang lain karena Allah tidak pernah terpisah,
Allah menjadi dasar keberadaan bukan suatu ada yang dapat diberi nama.
Hanya dengan memasuki keheningan – keheningan mengalihkan pusat
perhatian dari diri kita untuk masuk dalam ketidak tahuan – kita dapat
menemukan ada yang lain ini. Umat Kristiani yang sibuk bisa lupa bahwa memberi
makan orang miskin, memberi pakaian orang yang telanjang dan menyambut orang
asing adalah sebuah karya keheningan saat perhatian kita benar-benar tertuju
pada mereka yang kita layani, bukan pada diri kita atau pada institusi yang ada
di belakang kita. Dalam keheningan kasih yang semacam itu, ‘penyedia jasa’ dan ‘pengguna
jasa’ dapat saling menghadirkan Allah. Dengan demikian nama-nama tanpa hati itu
akan hanyut tersingkir.
Hanya dengan menemukan orang lain kita dapat menemukan diri kita
sendiri.
Orang lain bisa jadi membahayakan. Warna kulit, makanan, bahasa, pakaian
atau adat yang berbeda. Sebaliknya, jika kita tertarik pada yang lain, kita dapat
merasa takut jatuh ke dalam perbedaan tersebut dan terserap di
dalamnya – atau hanya sekedar menolaknya.
Tidak ada rasa sakit yang lebih parah daripada pengasingan penolakan
emosional. Tidak ada sukacita yang lebih besar saat orang lain membalas senyum
kita dengan tulus, mengenali anda dan mencari anda. Allah bukanlah suatu
pilihan lain/alternatif bagi resiko dan rasa sakit dari relasi manusia. Allah
adalah intim yang lain dari pijakan dasar dimana kita bertemu dan belajar
dengan penuh rasa sakit untuk saling mengasihi.
“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang
dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
(Diterjemahkan oleh : Indrawati Hadiprodjo; edit : Alex PM - WCCM Yk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar