Laurence Freeman,OSB.
Hidup menyuguhkan berbagai wajah realita kepada kita dengan urutan yang
selalu tidak dapat ditebak. Naik bus atau membuat keputusan untuk pindah ke
rumah baru mungkin merupakan kejadian-kejadian yang tidak penting yang mudah
dilupakan artinya, atau semua itu bisa menjadi batu loncatan dalam hidup kita
oleh karena akibat-akibat yang ditimbulkannya.
Unsur-unsur kehidupan yang acak dan tak dapat kita sadari berada di luar
kendali kita. Jika kita mempersonifikasikan ke-acak-an ini – atau bahkan karma
– sebagai Allah atau setan, karena akibat-akibatnya bagi kita saat itu
sepertinya baik atau buruk, kita mungkin menikmati kelegaan sejenak atas
penjelasan langsung akan sesuatu yang sedang terjadi. Tetapi kita kehilangan
maknanya dan sekaligus juga kebenaran yang membebaskan kita dari ilusi.
Yesus dibawa ke gurun selama empat puluh hari dan dicobai – diuji – oleh ego
yang jelas-jelas kuat dan maju. Kecukupan diri, harga diri dan kekuasan adalah
suara-suara yang menggoda setiap saat tetapi terutama saat kita di padang
gurun. Tempat ini terbuka dan rapuh, tempat identitas ego kita bergantung dan
kita menghadapi ego pertahanan diri yang belum matang dan telanjang dan juga
peningkatan diri. Ego yang telanjang, bahkan egotism kita sendiri, membuat
pikiran sadar kita muak. Maka kita menyembunyikannya, menyangkalnya atau
menolak untuk menerima tanggung jawabnya dengan menganggapnya sebagai kekuatan
setan di luar diri kita.
Menurut cerita injil, Yesus tanpa takut menghadapi ego-Nya sendiri,
melihatnya dan mengenali suara-suaranya sebagai ilusi. Begitu kita melihat
ilusi-ilusi yang kita ciptakan sendiri, kita akan dibebaskan. Meskipun mereka
kembali untuk menguji kita lagi, kita menjadi lebih kuat dalam mengenali dan
menolaknya. Setiap ujian membuat kita lebih realistis. Setelah ujian, kita
dapat santai sejenak dan melalui situasi-situasi kehidupan kita yang alami dan
biasa, kita merasakan suatu kekuatan yang membaharui dan melegakan menyentuh
kita. "Kemudian iblis meninggalkan Dia, dan malaikat-malaikat melayani Dia".
Doa, praksis ketiga yang luar biasa dari kehidupan
Kristiani, adalah padang gurun. Tugasnya adalah menghadapi ilusi-ilusi kita dan
menjadi realistis.
(Diterjemahkan oleh : Fransisca Hadiprodjo; re edit: alex - wccm yk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar