WCCM - Lent Reflections 2017
Sunday Holy Week
Belum lama berselang saya berada
di teater dan setengah jalan babak pertama seorang pengunjung yang terlambat
diijinkan masuk. Dia menimbulkan kegaduhan umum saat kami memberi jalan baginya sehingga dia dapat menyelip melewati
setiap orang untuk sampai ke tempat duduknya di bagian tengah deretan. Begitu pertunjukan berlangsung, kita
harus mencoba untuk terus memusatkan perhatian kita karena pertunjukan itu
merupakan suatu aliran peristiwa tak terputus yang mengarah pada kepenuhan
tanggapan kita saat klimaks tiba dan layar diturunkan.. dan dinaikkan lagi. Hal
yang sama juga berlaku pada Pekan Suci. Jika perhatian kita teralihkan dari
langkah cerita yang makin cepat, jangan membuang-buang waktu untuk mengeluh,
tetapi kembalikan perhatian anda pada fokusnya.
Mengamati sejumlah lukisan
Perjamuan Terakhir, baru-baru ini saya memperhatikan bahwa Yudas ditempatkan
dalam cara-cara yang berbeda. Dalam lukisan dinding Leonardo yang terkenal,
Yudas sedang duduk, dengan tampang sangat kriminal urutan ke lima dari kiri,
memegang kantong berisi perak, (Petrus memegang belati yang nanti bakal
digunakannya untuk memotong telinga si petugas). Dalam lukisan Ghirlandaio,
Yudas duduk sendiri menghadap murid-murid yang lain. Dalam beberapa lukisan
Yudas dicirikan sebagai yang paling bertampang Yahudi di antara yang lain.
Biasanya, Yudas dipisahkan sebagai sosok yang tidak menarik dan terkucilkan,
meskipun dalam kisah tersebut dia memiliki keintiman yang sangat kuat, dan
bahkan misterius, dengan Yesus, yang mengetahui apa yang akan lakukannya dan
secara diam-diam menyuruhnya untuk melanjutkan niatnya (‘Malam telah tiba’)
Wajah-wajah mengungkapkan dan
memamerkan kita. Kita mengenal dengan kebahagiaan wajah yang akrab dalam
kerumunan para penyambut di bandara yang menunggu di bagian Kedatangan.
Tiba-tiba segerombolan orang asing larut menjadi wajah yang tersenyum dan
lambaian bersahabat menghalau anonimitas
yang merupakan bagian terburuk dari sebuah perjalanan.
Ketika kita melihat foto diri
kita, kita berpikir, apakah benar saya terlihat seperti itu? Dari wajah-wajah
kita, dengan tidak nyaman kita memahami, orang lain mungkin mengenal kita
dengan lebih baik, atau setidaknya berbeda, dari cara kita mengenal diri kita
sendiri. Jika berbeda, siapa yang lebih benar?
Dalam sekejap, sebuah wajah bisa
berubah dari tampang muram yang tegang dan cemas, menjadi wajah cemerlang dan
sukacita seperti anak kecil. Sebuah gelombang emosi menyapu jiwa dan otot wajah
tanpa sadar mencerminkannya beberapa saat kemudian. Diperlukan waktu sebelum
kita dapat memperoleh kembali kendali atas apa yang dikatakan oleh ekspresi
wajah kita kepada dunia.
Bahkan ketika wajah kita sedang
santai dan kita berada di antara suatu perasaan-perasaan yang kuat, wajah
selalu menunjukkan kepada setiap orang, walaupun mungkin setidaknya kepada diri
kita sendiri, semua keadaan diri kita sebelumnya. Dibentuk selama
berpuluh-puluh tahun melalui kontraksi otot yang tak terhitung jumlahnya,
melalui kernyitan dahi, rahang yang mengatup kencang, fase-fase kemarahan dan
kesedihan, pedih dan duka – dan banyak hal yang baik juga - kita memiliki wajah
yang layak kita terima. Itu semua sudah kita lalui dalam hidup ini. Tidak ada
kosmetik atau operasi yang dapat benar-benar
menyembunyikan karakteristik wajah kita.
Proses penuaan merupakan hal yang paling tidak perlu dicemaskan.
Wajah Yudas adalah ketakutan
terburuk kita tentang diri kita sendiri dan oleh karena itu dapat menjadi
pemicu terjadinya belas kasih yang terdalam dan paling transformatif. Pertobatan
sejati terjadi dari sebuah tempat yang jauh dari kendali kehendak, sebuah
tempat rahmat penebusan. Ketika hal ini terjadi, kita diremajakan kembali
dan, kendati hanya sekejap, wajah asli
kita, diri kita yang paling sejati akan menampakkan diri kepada kita dan kepada
mereka yang mungkin masih memandang kita dengan penuh minat setelah
bertahun-tahun.
Dalam wajah Yudas seperti halnya
orang-orang yang tidak begitu rumit, wajah Yesus Kristus tiba-tiba dapat
bercahaya, seperti harta karun yang tersimpan dalam bejana tanah liat:
Sebab Allah yang telah berfirman:
“Dari dalam gelap akan terbit terang!”, Ia juga yang membuat terang-Nya
bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan
tentang kemuliaan Allah yang Nampak pada wajah Kristus. (2 Kor 4: 6)
With Love
Laurence
(Diterjemahkan: Lukas Kristanda –
WCCM Indonesia)
Sumber : www.wccm.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar