WCCM Lent Reflections 2015
Holy Thursday
Yoh 13:1-15:
Kemudian Ia
menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya.
Jean Vanier menyebut
pembasuhan kaki ini sebagai sakramen yang hilang. Pembasuhan ini terlihat
sangat simbolis dan itulah latar belakangnya dilakukan oleh Paus atau imam
paroki dengan kelompok yang di pilih di altar. Di pulau Bere, kita melakukannya
agak sedikit berbeda, seperti yang diajarkan oleh Jean beberapa tahun yang
lalu. Semua orang di gereja, termasuk penduduk pulau tersebut dan orang-orang
yang ikut retret, diundang untuk membentuk lingkaran kecil, masing-masing
membasuh kaki orang yang di sebelahnya. Ketika masing-masing sudah dibasuh
kakinya dan dikeringkan, dia berdoa untuk orang yang melakukan aksi kelembutan
dan intim ini.
Banyak orang di gereja,
seperti Petrus, benar-benar tidak mau dibasuh kakinya. Sepertinya mungkin
memalukan bagi mereka dan cara yang tidak perlu untuk memperpanjang misa. Saya
tidak pernah sepenuhnya berhasil membujuk mereka berbuat sebaliknya, meskipun
setiap tahun saya hidup dalam harapan.
Ada yang membasuh, ada
yang dibasuh, dan ada yang tidak membasuh dan tidak dibasuh dan hanya menonton.
Kita adalah sebuah budaya penonton. Kita terbiasa menonton program-program alam
di TV dan terpesona akan keajaiban dunia dari keamanan kursi sofa kita. Kita
dapat menekan pause kapan saja untuk berdiri dan membuat segelas teh. Kita kembali
dan menekan tombol play dan dunia akan tampil lagi. Kita seperti kaisar kuno
yang sedang dihibur. Penonton dan konsumen tapi bukan penjelajah, bukan orang
yang terjun ke lapangan.
Hari ini kita memulai
tiga hari yang berujung pada acara yang cahayanya memandikan kita namun tidak
dapat kita pahami. Dan yang tidak akan pernah kita lihat kecuali jika kita
menjadi peserta.
Hari-hari tersebut
hanya dapat dimasuki sebagai jalan transformasi melalui pintu iman. Saya tidak
bermaksud bahwa anda harus percaya semua yang dikatakan tentang mereka. Di
jaman kita, percaya itu datang kemudian. Iman itu tentang keterbukaan,
penghormatan, ada dan tinggal di sana. Kemudian pada saat tertentu transendensi
menyingsing dan semuanya menyatu. Percaya kemudian menjadi relevan.
Namun kita tidak bisa
benar-benar ada dan tinggal di sana hanya sebagai pengamat, konsumen, sebagai
bagian dari penonton. Kita tidak akan dapat menyentuh realitas kecuali jika
kita mengijinkannya untuk menyentuh kita, untuk membasuh kita. Partisipasilah
yang mengubah kegelapan menjadi cahaya dan membuka gerbang rahmat.
Seperti yang dikatakan
oleh teman Sufi kita, Saat matahari telah terbit, lalu dimana masih ada malam?
Ketika bala tentara rahmat datang, di mana masih ada sengsara?
Salam kasih,
Laurence Freeman OSB
Diterjemahkan : Sisca Indrawati H - WCCM Yogyakarta
Diterjemahkan : Sisca Indrawati H - WCCM Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar