Renungan Minggu Adven ke 2 - Fr. Laurence Freeman, OSB
kehampaan yang kita alami akan berubah menjadi suatu karunia
kalau di dalamnya ada pengharapan yang menerangi kita tentang arti dari
yang sedang kita alami.
Inilah yang diberitakan oleh Yohanes Pembaptis ketika ia berkata:
##Sesudah aku akan datang Ia yang lebih berkuasa dari padaku; membungkuk dan membuka tali kasut Nya pun aku tidak layak. Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus## (Mrk 1: 8-9)
'Hidup dalam pengharapan' kedengarannya seperti omong kosong belaka bagi masyarakat sekarang ini yang sudah terbiasa dengan segala sesuatu yang serba instan. Segala sesuatu harus segera terlihat hasilnya dan memuaskan keinginan kita. Atau dengan kata lain, kita harus menerima nasib dan hidup selalu dalam kekurangan atau mengalami kekecewaan yang tak terungkapkan sampai akhir hidup ini. Bukan inilah yang dimaksud dengan pengharapan yang menjadi kekuatandari meditasi.
Inilah yang diberitakan oleh Yohanes Pembaptis ketika ia berkata:
##Sesudah aku akan datang Ia yang lebih berkuasa dari padaku; membungkuk dan membuka tali kasut Nya pun aku tidak layak. Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus## (Mrk 1: 8-9)
'Hidup dalam pengharapan' kedengarannya seperti omong kosong belaka bagi masyarakat sekarang ini yang sudah terbiasa dengan segala sesuatu yang serba instan. Segala sesuatu harus segera terlihat hasilnya dan memuaskan keinginan kita. Atau dengan kata lain, kita harus menerima nasib dan hidup selalu dalam kekurangan atau mengalami kekecewaan yang tak terungkapkan sampai akhir hidup ini. Bukan inilah yang dimaksud dengan pengharapan yang menjadi kekuatandari meditasi.
Harapan dapat tumbuh, namun harapan juga dapat mati. Harapan-harapan
tersebut bisa tertutup oleh keinginan dan imajinasi yang kita gunakan
dalam menutupi kenyataan yang sebenarnya atau sebagai mekanisme
pertahanan diri terhadap kekecewaan dan penderitaan yang kita alami.
Seringkali kita gemetar dipinggir jurang keputusasaan dan harus
melepaskan segala keinginan kita sebelum kita menemukan arti yang
sebenarnya dari pengharapan. Sebelum kita benar-benar mencapai titik
kritis, kita menggenggam semua harapan-harapan palsu. Orang-orang
seperti Yohanes Pembaptis di dalam hidup kita - mereka yang benar-benar
memberikan penghiburan yang sejati, bukan orang yang meramalkan kiamat
tetapi pengkotbah yang menyadarkan kita akan kenyataan yang sebenarnya.
Tetapi kehampaan yang kita alami akan berubah menjadi suatu karunia
kalau di dalamnya ada pengharapan yang menerangi kita tentang arti dari
yang sedang kita alami. Meskipun kita tidak dapat melihat cahaya pada
ujung terowongan, namun penyesuaian mata kita di kegelapan malam, maka
kita dapat mengetahui bahwa kita berada di jalan yang benar. Dalam
perjalanan ini dapat muncul perasaan gagal atau perasaan telah
dilupakan, namun semuanya ini akhirnya membuahkan cinta kasih.
Bagi mereka yang hidup dalam pengharapan (inilah yang kita pelajari dari
masa Adven) maka tidak ada titik akhir atau kata selesai. Seperti yang
dikatakan oleh Rabbi tua, Tuhan tidak mengharapkan kita selalu sukses,
tetapi kita juga tidak diperbolehkan menyerah. Ini bukan hanya merupakan
kearifan manusia tentang perlunya bertahan. Namun ini menyingkapkan
kepada kita tentang kesederhanaan Allah yang abadi.
Diterjemahkan oleh Dr. Lucia Gani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar