Lukas
5:27-32:
"Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang-orang
berdosa, supaya mereka bertobat."
Setelah
bertahun tahun bepergian dalam kesengsaraan, sebuah maskapai penerbangan
mengirimi saya ucapan terima kasih karena telah mengumpulkan begitu banyak mil
perjalanan dan mendapat Gold Status seumur hidup. (Saya baru saja salah ketik
‘God status’). Saya skeptis tentang janji mereka namun untuk saat ini status
tersebut membuat check-in dan menunggu lebih mudah. Bonus tersebut ditawarkan
dengan maksud supaya anda merasa istimewa namun celakalah orang-orang yang
jatuh dalam godaan tersebut.
Status
istimewa adalah sebuah ilusi tempat kita berlindung ketika semua hal berjalan
dengan baik. Kita bahkan bersyukur pada Tuhan karena kita terhindar dari badai
dan menerpa semenanjung berikutnya. Ketika hal-hal buruk terjadi – ketika kita
kehilangan apa yang kita nikmati atau gagal mencapai apa yang telah lama kita
usahakan dan harapkan, atau waktu bersenang-senang berkurang – status istimewa
rasanya seolah-olah telah dicabut. Bayangkan apa yang dirasakan oleh
orang-orang Yahudi di bawah Nazi Jerman, sedikit demi sedikit hak-hak sosial
dan profesional mereka dipangkas dan dalam waktu singkat mereka menjadi
non-penduduk. Peristiwa tersebut adalah sebuah mimpi buruk dari rasa tidak aman
– yang kita semua memilikinya - yang menjadi kenyataan.
Bahkan hanya hidup dan situasi yang berubah terus menerus yang membuat kita kehilangan sesuatu yang kita hargai – seperti kesehatan – kita mendapat perasaan menjengkelkan karena merasa ditindas. Kita marah pada sesuatu (Santa Klaus, Tuhan atau pemerintah). Kita merasa telah kehilangan status melalui sakit atau bahkan ketika menjalani ujian. Orang-orang yang sehat tidak bisa mencegah timbulnya rasa superioritas terhadap orang sakit. Namun rasa keterpisahan dan terpinggirkan oleh nasib memiliki rahmat. Yesus berkata Dia datang untuk orang sakit bukan untuk orang sehat. Dia makan bersama para pendosa bukannya dengan pemimpin-pemimpin gereja. Jadi siapakah ‘yang istimewa’?
Tidak
mengherankan – jika mereka memahaminya – bahwa ‘pendosa bisa menjadi
kontemplatif yang terbaik’.
Salam kasih
Laurence
Diterjemahkan :
Fransisca Indrawati H – WCCM Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar